RSS

DINAMIKA NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM KONSTITUSI DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA


Pengantar

Nilai-nilai Islam dan syariat Islam telah menjadi perdebatan sejak awal konstitusi Indonesia dibentuk. Dalam hal ini tidak berarti saya mengabaikan pentingnya peran dan sumbangsih nilai-nilai agama lain dalam konstitusi Indonesia. Tulisan singkat ini, mendiskusikan nilai agama dalam konstitusi dan sistem hukum Indonesia, dan memberi gambaran bagaimana sesungguhnya posisi agama dan khususnya Islam dalam negara Indonesia yang kita cintai. Hal ini diharapkan akan semakin melengkapi dan memantapkan pemahaman kita terhadap konstitusi dengan segenap nilai-nilai yang dikandung di dalamnya.

Setiap pembicaraan mengenai konstitusi tidaklah dapat dilepaskan dari perspektif sejarah, mengingat konstitusi pada dasarnya merupakan kesepakatan politik bangsa melalui para pembuatnya sesuai dengan situasi, tempat dan waktu pada saat konstitusi dirumuskan dan dinamika dalam implementasinya. 

Oleh karena itu, dinamika nilai-nilai agama dalam konstitusi dalam bahasan aktual hari ini harsulah merupakan satu tarikan napa dengan realitas sejarah pada saat konstitusi tersebut dirumuskan dan disahkan.

Makna Konstitusi

Konstitusi merupakan syarat mutlak keberlangsungan suatu negara karena konstitusi memuat sendi-sendi untuk menegakkan negara. Di dalam konstitusi, dimuat nilai dan norma yang disepakati bersama seluruh warga negara untuk dijadikan rujukan tertinggi dalam bernegara. Dalam kerangka itulah, undang-undang dasar biasa disebut sebagai kontrak sosial atau perjanjian bersama tertinggi dalam negara. Konstitusi mengandung kesepakatan-kesepakatan umum yg menjadi dasar dan patron dalam menyelenggarakan negara untk mencapai tujuannya.

Dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, para perumusnya mengikhtiarkan agar konstitusi dibangun sesuai dengan karakter bangsanya. Meskipun para perumus Undang-Undang Dasar menggunakan referensi konstitusi berbagai negara, namun terdapat usaha sungguh-sungguh sedapat mungkin materi muatan konstitusi menggambarkan kekhasan tata nilai masyarakat Indonesia sendiri. Pada konteks ikhtiar inilah, nilai-nilai agama khususnya nilai-nilai universal Islam sebagaimana yang dianut mayoritas bangsa Indonesia yang telah membumi dalam kehidupan masyarakat Indonesia memberi warna dan kontribusi dalam proses perumusan nilai dan norma konstitusi. 

Perdebatan Awal

Dalam proses perumusan UUD 1945, terjadi diskusi mendalam mengenai suatu tema yaitu atas dasar apa negara Indonesia didirikan? Dua kelompok yang berbeda secara diametral saling berhadapan, yakni kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan negara, baik dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara, atau negara yang memberlakukan ajaran Islam, dengan kelompok yang menentang kaitan Islam dan negara dalam bentuk apapun. Pada akhirnya titik temu dapat disepakati, walaupun hal tersebut masih dan terus saja diperdebatkan. 
Menguraikan sejarah perjalanan nilai-nilai agama, khususnya agama Islam dalam konstitusi, pada dasarnya merupakan bentuk perjuangan eksistensi. Dari perspektif itu dapat diungkap pola hubungan antara Islam dan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk hukum Islam yang menjadi living law dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, kehidupan penduduk di wilayah nusantara sangat dekat dengan agama-agama, sejak dari penganut agama Hindu dan Budha, kemudian pengaruh agama Islam, dan agama Kristen hingga penganut berbagai kepercayaan yang ada jauh sebelum pengaruh agama-agama itu datang. Tidak dapat dipungkiri, jauh sebelum terlembagakan dalam bangunan negara, Islam secara kultural telah berakar dalam kesadaran hukum masyarakat dan telah menjadi bagian penting dari kebudayaan Indonesia. Ketika Belanda menancapkan kekuasaannya di bumi nusantara, sebagian besar kerajaan-kerajaan yang ada telah memberlakukan corak pemerintahan Islam, meskipun hukum Islam diberlakukan bukan dalam bentuk peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Namun dalam perkembangannya, pengaruh kepentingan kolonialisme membuat hukum Islam berada dalam posisi tidak pasti dan terpinggirkan. Puncaknya, melalui Staatsblad 1937 Nomor 116, keberlakukan hukum Islam dibatasi melalui politik hukum Belanda yang diilhami oleh teori receptie yang digagas Snouck Hurgronje. 

Di masa menjelang kemerdekaan, diskursus tentang Islam menjadi lebih bersifat struktural karena masuk ke wilayah legal-konstitusional. Bahkan, keberadaan nilai-nilai Islam berhasil diperjuangkan dalam konstitusi yang ditandai oleh tercapainya gentlemen aggrement atau dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam ini diusulkan menjadi preambule UUD 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam piagam ini pula, terdapat formulasi sila pertama Pancasila dengan yang menyatakan “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syar’iat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. 

Sungguh pun demikian, kesepakatan atas Piagam Jakarta tidak berjalan mulus karena diwarnai perdebatan antara faksi nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler dalam sidang BPUPKI. Faksi nasionalis-Islam menghendaki negara Islam, sedangkan faksi nasionalis-sekuler menginginkan negara yang tidak berdasarkan agama. Faksi nasionalis-Islam berprinsip bahwa agama, dalam hal ini Islam, tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan, dan alam semesta. Sedangkan faksi nasionalis-sekuler berprinsip bahwa agama dan negara harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, sementara negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.

Terlepas dari perdebatan tersebut, penting untuk diketahui bahwa “delapan kata” yang terkandung dalam Piagam Jakarta menyiratkan suatu kesepakatan diantara para founding fathers mengenai tata hubungan negara dan agama. Konsekuensinya, kalimat tersebut juga dicantumkan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, temasuk juga adanya ketentuan yang mengharuskan Presiden orang Indonesia asli dan beragama Islam. Namun, kompromi yang tertuang dalam Piagam Jakarta tersebut diformulasikan kembali pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI, alasannya, muncul kekhawatiran dari kalangan rakyat Indonesia Timur terhadap kandungan kata-kata dalam Piagam Jakarta. Akhirnya, “delapan kata” dalam Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Kesepakatan PPKI ini merupakan kompromi dan jalan tengah yang paling bisa diterima oleh para founding father pada saat itu. Menurut pandangan Agus Salim, salah seorang perumus pembukaan UUD 1945, “Pancasila menjadi tempat pertemuan kita dimana kita berhimpun. Hal itu bermakna bahwa persatuan yang berharga itu tak mungkin dapat menghimpunkan segala aliran, semua-semuanya dengan tak ada kecuali. Pada sisi lain untuk mendapat kepastian tentang aliran-aliran manakah yang dapat kita bersatu dengan dia dalam satu urusan haruslah kita senantiasa memelihara hubungan dengan aliran-aliran lain itu dan dapat merundingkan dengan orang-orangnya tentang apakah dan cara bagaimanakah kita dapat kerjasama menurut pokok-pokok Pancasila.” Berdasarkan pandangan Agus Salim tersebut pandangan atheis yang tidak percaya kepada Tuhan tidak mungkin dapat disatukan dengan Pancasila itu.
Saudara-saudara yang saya hormati,  

Dinamika Setelah Merdeka

Polemik soal perubahan delapan kata dalam Piagam Jakarta mencuat kembali dalam proses pembuatan Konstitusi di sidang Konstituante dalam rentang waktu 1957-1959. Terjadi tarik menarik kembali soal dasar negara. Faksi nasionalis-sekuler mengusulkan Pancasila, sedangkan faksi nasionalis-Islam bersikukuh dengan Islam sebagai dasar negara. Karena jalan kompromi tidak ditemukan, Konstitusante mengalami deadlock sehingga kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 dengan alasan Konstituante gagal menyelesaikan tugasnya.

Jika dicermati, Dekrit Presiden sesungguhnya menjembatani dua arus pemikiran yang berkembang dalam Konstituante, yaitu mengakomodasi pandangan faksi nasionalis-Islam dengan mencantumkan dalam salah satu konsideran dekrit tersebut bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dictum pertimbangan dekrit tersebut, memperjelas posisi syariat Islam dalam Undan-Undang Dasar 1945, sehingga dapat dikatakan kedudukan syariat Islam dalam UUD 1945 sesudah Dekrit Presiden menjadi lebih kuat daripada dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI. 

Berdasarkan realitas demikian meskipun tanpa memuat delapan kata dari Piagam Jakarta, eksistensi ideologi agama, khususnya agama Islam, secara expressiv verbis  tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang memuat falsafah dasar negara, yakni pada sila pertama yang menyatakan, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pandangan saya, keduanya mengandung dimensi yang sejalan dengan Q.S. Al Ikhlas, ayat (1) yaitu, أَحَدٌ اللَّهُ هُوَ قُلْ” ” yang berarti “katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini menjadi cerminan konsep monoteisme atau tauhid yang dianut konstitusi, sehingga Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai nilai keislaman yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 

Hal yang tidak kalah penting, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Oleh karena itu, dengan dianutnya konsep Negara Hukum Pancasila yang mengakar pada konstitusi menunjukkan ada keseimbangan antara negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila yang menurut istilah Prof. Oemar Senoadji sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Causa Prima dari sila-sila yang lainnya. 

Hal tersebut sejalan dengan kalimat di dalam Alinea Ketiga Pembukan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…”, yang bukan saja menegaskan apa yang menjadi motivasi nyata dan materiil bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi motivasi spritual bahwa maksud dan tindakan menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang Maha Kuasa. Inilah pengakuan religius yang menandakan bahwa Indonesia mengakui nilai-nilai agama yang sekaligus dijadikan sebagai dasar dalam membangun hukum positif negara maupun dasar moral negara. 

Setelah Reformasi Konstitusi Indonesia

Di kemudian hari, ketika Undang-Undang Dasar mengalami perubahan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, di dalam ketentuan Perubahan UUD 1945, nilai-nilai keislaman ditemukan dalam sejumlah pasal, yakni Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung, Pasal 27, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, dan Pasal 28I UUD 1945 yang berisi pengakuan atas persamaan dan kesetaraan serta hak asasi manusia. Untuk itu, saya berpandangan bahwa ketentuan di dalam konstitusi telah mencerminkan nilai-nilai Islam dan mengakui keberadaan nilai-nilai agama. Bahkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, salah satu pembatasan atas Hak Asasi Manusia adalah nilai-nilai agama. Hal itu berati nilai-nilai agama berada di atas HAM.
Saudara-saudara, hadirin yang berbahagia,

Berkaitan dengan pembentukan hukum nasional, dalam prosesnya terdapat kecenderungan semakin menguatnya hukum Islam. Dalam hal ini, hukum Islam bukan lagi sekedar sumber persuasif melainkan telah menjadi salah satu sumber otoritatif dalam hukum Indonesia. Terlebih lagi, dalam proses Perubahan UUD 1945, mayoritas fraksi dan anggota MPR menyepakati rumusan Pasal 29 UUD 1945 tidak ada perubahan. Pada saat yang sama, di dalam Perubahan Keempat ditegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penegasan demikian bermakna, pemberlakuan kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan pernyataan bahwa piagam tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari UUD ini. 

Akibatnya, upaya untuk mentransformasi hukum Islam dalam materi hukum nasional semakin tidak terbendung. Secara eksplisit, pembentukan undang-undang telah mengadopsi nilai-nilai Islam, baik secara formil maupun materiil. Pada masa Orde Baru terdapat beberapa undang undang yang merupakan transformasi hukum Islam, seperti UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan. Pada masa reformasi kehendak mengaktualisasikan hukum Islam dalam bentuk undang-undang semakin meningkat. Hal ini dijumpai antara lain lahirnya UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Bahkan, ada yang implisit mengadopsi nilai-nilai Islam, yakni UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dan lain sebagainya. 

Selain itu, eksistensi hukum Islam bukan hanya berkaitan dengan bidang hukum privat (ubudiyah dan mu’amalah), akan tetapi telah menyentuh bidang hukum publik yang berhubungan dengan pidana Islam (jinayah/uqubat). Di Aceh misalnya, diterapkan hukum pidana Islam melalui UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang selanjutnya diatur dalam peraturan seperti UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Produk hukum turunannya dibuat melalui qanun, antara lain yang mengatur peradilan syarait Islam, tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang aqidah, ibadah, dan aktifitas syiar Islam lainnya. Fenomena ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa hukum Islam memainkan peran sangat vital dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Hukum Islam tidak hanya mengisi kekosongan hukum namun sekaligus menjadi sumber nilai yang mendasari aturan hukum yang dibuat. 

Sungguh pun demikian, lahirnya aneka peraturan perundang-undangan yang memuat nilai-nilai Islam selalui disertai masalah. Dengan kata lain, upaya transformasi hukum Islam selalu menimbulkan polemik karena posisi hukum Islam berada di titik tengah antara paradigma agama dan negara dan bahkan berada di titik tengah ketegangan antara agama itu sendiri. Contohnya adalah penerapan hukum “jilid” atau cambuk bagi pelaku tindak pidana perjudian di Aceh, seakan-akan merupakan hal baru dalam khasanah hukum pidana di Indonesia. Padahal, hukum pidana Islam di Indonesia telah dipraktikkan di berbagai kesultanan di Indonesia sebelum kedatangan penjajah Belanda, misalnya eksistensi dan praktik peradilan agama dalam pemerintahan Islam di Kesultanan Bima pada tahun 1947-1957.

Arah Pembangunan Hukum Indonesia

Secara umum pembentukan hukum Indonesia diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional yang bersumber dari Pancasila dan Undnag-Undang Dasr 1945. Namun, untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda, ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, bukanlah pekerjaan mudah. Untuk itu, diperlukan kebijakan dalam kerangka yang mencakup 2 hal, yaitu:

Pertama, dalam merencanakan pembangunan hukum nasional, harus mengedepankan wawasan kebangsaan, wawasan nusantara, dan wawasan bhineka tunggal ika. Sistem hukum nasional harus berorientasi penuh pada aspirasi serta kepentingan bangsa Indonesia serta mencerminkan cita-cita hukum, tujuan, dan fungsi hukum, ciri dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam hal ini, hukum nasional Indonesia yang akan datang haruslah sesuai dengan perkembangan serta kebutuhan zaman, yang dapat menyerap nilai-nilai hukum modern, namun tetap berpijak pada kepribadian bangsa. 

Kedua, unifikasi di bidang hukum harus dilaksanakan. Ini bermakna, seluruh golongan masyarakat akan diatur dengan satu sistem hukum nasional. Karenanya, hukum nasional yang akan diwujudkan tersebut harus memperhatikan pluralitas masyarakat dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan demikian, unifikasi hukum harus menampung aspirasi, nilai-nilai, dan kebutuhan masyarakat, yang dengan sendirinya harus sesuai dengan aspirasi dan kehidupan berbangsa dan bernengara. Dengan demikian, sangat dimungkinkan asas dan kaidah hukum Islam, hukum Adat, dan hukum Barat serta hukum lainnya diintergrasikan menjadi hukum nasional.

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Agama Islam, memiliki hukum yang secara substansi terdiri atas dua bagian besar yaitu: (1) bidang ibadah dan (2) bidang mu’amalah. Pada dasarnya, pembangunan dan aplikasi prinsip-prinsip bidang mu’amalah itu diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan yakni para ulil amri. Karenanya, nilai Islam memegang peranan penting dalam membentuk dan membina ketertiban sosial dan mempengaruhi segala segi kehidupannya. Mentransformasi nilai Islam ke dalam hukum nasional merupakah salah satu jalan yang ditempuh, dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.

Dalam hal ini, cukup banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat dipergunakan dalam menyusun hukum nasional. Karena itu, dalam konteks kenegaraan, pelaksanaan dan pelembagaan hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari praktek legislasi. Memang dalam teks ajaran hukum Islam itu tidak ada suatu keharusan memberlakukan hukum Islam melalui legislasi, namun menurut kaidah ushul fiqh, “sesuatu yang mubah bisa menjadi wajib, jika manfaat yang diberikan oleh sesuatu itu lebih besar bagi terlaksana sesuatu yang diperintahkan”. Atas dasar itu, jika efektivitas hukum Islam memerlukan campur tangan pemerintah, maka legislasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan sebagai bentuk jaminan negara atas hak menjalankan keyakinan agama. Transformasi nilai Islam ke dalam bentuk legislasi berarti nilai Islam diangkat dan ditransformasi menjadi hukum negara. 

Di satu sisi, dengan transformasi nilai Islam akan dicapai kesesuaian antara nilai Islam (hukum Islam) dan hukum nasional. Satu hal yang patut diperhatikan, kesempatan dan sarana terbesar bagi transformasi nilai Islam adalah memasukkan nilai-nilai hukum Islam ke dalam undang-undang dan tidak berarti harus secara langsung menjadikan undang-undang tersendiri. Model ini lebih memperkecil pendekatan normatif dengan menjadikan hukum Islam dalam sebuah undang-undang tertentu. Namun dalam waktu bersamaan akan mempunyai jangkauan yang lebih luas, karena akan mampu meliputi banyak aspek atau jenis hukum atau undang-undang. Model seperti ini merupakan usaha memasukkan norma dan prinsip hukum Islam ke dalam hukum nasional secara akademik, argumentatif, sosiologis, kultural dan asas kemanfaatan demi tercapainya cita-cita dan kemashlatan bangsa. Pendekatan seperti ini juga dapat dilakukan ketika hakim atau penegak hukum berbicara mengenai kebiasaan dan doktrin sebagai sumber hukum. 

Dalam praktik peradilan konstitusi di MK khususnya dalam pengujian undang-undang MK telah menegaskan dan mengakui bahwa nilai-nilai agama menjadi sumber nilai dalam membentuk konstitusionalitas suatu undang-undang. Khususnya mengenai kebebasan dan hak asasi manusia tidak boleh bertentangan dengan nilai agama.

Konklusi

Dari tinjauan historis sebagaimana diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kosmologi kehidupan bangsa Indonesia telah menjadikan nilai agama yang penting dan strategis dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Nilai itu bahkan melembaga baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan dan praktek penyelenggaraan negara Indonesia. 

Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arah politik hukum terhadap pembangunan bidang hukum Islam dengan jelas. Dengan merujuk pada prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada dasarnya merupakan amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan nilai-nilai agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Ini juga sebagai bentuk penegasan adanya jaminan dari negara kepada setiap penduduk untuk dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Artinya, negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi seluruh agama dengan hukum-hukumnya, dan melindungi serta melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut. 

Hal yang tak dapat dibantah adalah cita-cita batin, suasana kejiwaan, dan watak rakyat Indonesia banyak dibentuk oleh ajaran agama Islam. Dari pengalaman pembentukan berbagai peraturan perundang-undanagn nasional, terdapat gambaran bahwa ajaran agama Islam dan ketentuan-ketentuan hukumnya dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah hukum nasional. Hal ini menjadi bukti bahwa nilai agama Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara yuridis konstitusional, Undnag-Undang Dasar 1945 telah memberikan ruang apresiasi yang kuat dan cukup memadai bagi berkembangnya nilai-nilai Islam dalam hukum nasional.  

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 20, 2016 inci Pemikiran

 

NILAI-NILAI AGAMA DAN BUDAYA SEBAGAI FUNDAMEN KEHIDUPAN BANGSA


Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu

Sungguh suatu kehormatan besar bagi saya pada hari ini, diberi kesempatan untuk berdiri di sini, memberikan immanence lecturer di Universitas Pendidikan Indonesia ini. Tema kuliah yang diberikan untuk di sampaikan pada hari ini adalah mengenai “Nilai agama dan Budaya sebagai Fundamen Kehidupan Bangsa. Tema kebudayaan adalah suatu tema yang sesungguhnya bukan bidang keahlian saya, karena selama ini baik dalam bidang praktik maupun dalam bidang akademik, saya bergelut dalam dunia hukum, khususnya hukum tata negara. Namun demikian, karena persoalan pokok yang menjadi tema kuliah ini adalah masalah kebangsaan, yaitu masalah fundamen kehidupan bangsa maka saya memberanikan diri untuk menyampaikan kuliah ini karena masalah fundamen kebangsaan adalah masalah umum semata yang menjadi dasar kehidupan kebangsaan kita.

Makna fundamen negara

Ketika kita membicarakan fundamen kehidupan bangsa, maka kita akan berbicara sesuatu yang sangat penting bagi sebuah negara. Negara dan bangsa memiliki kandungan makna yang sedikit berbeda. Negara lebih bermakna hukum dan formal sedangkan bangsa lebih pada makna jiwa yang materiil sifatnya yaitu kehendak untuk bersatu karena kesamaan-kesamaan tertentu yang mendorong mereka membentuk negara. Jadi rasa kebangsaanlah yang mendorong terbentuknya negara, dan rasa kebangsaan itu timbul dari rasa senasib dan sepenanggungan karena latarblekang dan kondisi yang sama.  

Fundamen bangsa adalah dasar untuk tumbuh dan berkembangnya bangsa itu. Dasar bagi setiap kebijakan negara yang akan dijalankan, serta dasar bagi segala hukum dan cita hukum nasional yang kita bangun. Dasar fundamen itu, menjadi identitas jiwa dan kepribadian bangsa itu yang membedakannya dengan bangsa lainnya. Bangsa yang kehilangan jiwa dan identitasnya adalah bangsa yang tidak memiliki arah yang jelas bagi penyelenggaraan negaranya, dan pada sisi lain, ketika jiwa dan identitas bangsa itu tidak lagi dijadikan dasar dalam kebijakan negara, maka sesungguhnya bangsa itu telah kehilangan identitas dan kepribadiannya. Bangsa-bangsa besar dan maju adalah bangsa yang bergerak dan memajukan bangsanya di atas dasar identitas dan kepribadian bangsanya sendiri. Jika tidak, bangsa itu akan menjadi pengekor dan hanya sekedar bangsa peniru yang tidak menjadi bangsa yang terkemuka. Oleh Soekarno menyebut dasar fundamental itu sebagai, filosphische grondslag atau weltanschauung di atas mana kita mendirikan Indonesia merdeka. 

Bangsa Perancis yang lahir dari revolusi Preancis tahun 1789 -1799, melahirkan prinsip paling dasar yang menjadi identitas bangsa itu hingga saat ini yaitu: liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Bangsa Perancis memisahkan secara ketat antara urusan agama dengan urusan public (negara). Sedangkan bangsa Amerika dalam preambule konstitusinya memuat dengan jelas dasar bagi bangsa Amerika, yaitu “We the people of the United States, in order to form a more perfect union, establish justice, insure domestic tranquility, provide for the common defense, promote the general welfare and secure the blessing of liberty of ourselves and our posterity”. Prinsip bangsa Amerika adalah the right to live, liberty and pursuit happiness. AS mengikuti John Stuart Mill dengan kalimatnya yang terkenal, the greatest happeness of the greatest peoples”. Artinya, melalui jalan individualisme dan kebebasan memberikan kebahagiaan tertinggi kepada sebagian besar orang. Filsafat tertinggi dan paling diagungkan adalah humanism dan individualism (human dignity). Dasar inilah yang secara terus menerus ditanamkan dan diajarkan pada setiap anak-anak Amerika sejak dini.

Fundamen Kehidupan Bangsa Indonesia

Ketika para founders fathers (mothers) kita mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dalam rapat-rapat Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan ( Dokuritu Zyumbi Tyoosakai) atau BPUPK, persoalan pertama yang dikemukakan oleh ketua BPUPK dr Radjiman Wedyodiningrat adalah dengan dasar apakah negara yang kita dirikan ini dijalankan. Suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan perenungan yang panjang karena menyangkut dasar dan fundamen negara, yang akan menjadi dasar bagi berdiri tegaknya negara Indonesia merdeka. Sejak awal abad 20, terjadi perebutan pengaruh dua kutub aliran pemikiran yang menentukan jalannya negara yaitu aliran pemikiran individualism kapitalisme dan sosialisme komunisme. Para founding fathers kita seluruhnya, mencari jalan keluar dari kedua aliran pemikiran tersebut yaitu tidak individualism dan tidak pula sosialisme komunisme. 

Dari catatan risalah rapat BPUPK, tercatat 32 orang anggota BPUPK yang berbicara dari 66 oranggotanya (60 anggota dan 6 orang anggota tambahan), yaitu 11 orang ada tanggal 29 Mei, 10 orang pada tanggal 30 Mei, 6 orang pada tanggal 31 Mei dan 5 orang pada tanggal 1 Juni 1945. Sayang sekali, tidak seluruh pembicaraan anggota BPUPK itu terekam dalam bentuk risalah terdokumentasi secara tertulis maupun stenografi, termasuk pengantar rapat yang dikemukakan oleh Dr Radjiman ketika meminta para anggota untuk menyampaikan dasar negara itu, juga tidak ditemukan. Terdapat tiga buku risalah rapat BPUPK yang beredar sampai saat ini, yaitu pertama termuat dalam Buku Mr. Muhammad Yamin, “Naskah Persiapan UUD 1945” yang hanya memuat pidato Mr. Muhammad Yamin yang disampaikan tanggal 29 Mei 1945, pidato Prof Soepomo pada 31 Maei 1945 dan pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Kemudian risalah yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI sampai pada edisi ke empat, menambahkan pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo yang disampaikan pada tanggal 31 Mei 1945 (sebelum pidato Prof Soepomo). Kemudian terkahir risalah yang termuat dalam buku “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, tulisan A.B. Kusuma, yang pada intinya memuat risalah yang sama tetapi meragukan otentitas risalah lengkap pidato Muhammad Yamin tanggal 29 Mei 1945 sehingga A.B Kusuma tidak mengambil pendapat Yamin ini dalam berbagai tulisannya. Mengenai pidato Muhammad Yamin yang termuat dalam buku Mr. Muhammad Yamin maupun buku terbitan Sekretariat Negara yang diragukan oleh AB Kusuma, menurut saya, perlu penelitian lebih lanjut mengenai otentitasnya. AB Kusuma meragukan otentitas pidato Muhammad Yamin, karena dari catatan stenografi dan naskah lengkap pidatonya tidak ditemukan baik dalam koleksi Muhammad Yamin maupun koleksi Pringgodigdo yang tersimpan di Arsip Nasional. Dari catatan stenografi, Muhammad Yamin hanya menyampaikan pokok-pokok isi pidato pada tanggal 29 Mei itu, tidak ditemukan naskah lengkapnya. Walaupun demikian, saya berpendapat bahwa memperhatikan model Pak Muhammad Yamin yang suka bicara, saya tidak yakin bahwa Muhammad Yamin hanya menyampaikan ringkasan isi pidatonya pada tanggal 29 Mei itu. Oleh karena itu sebelum ditemukan suatu dokumen autentik, saya tetap menjadikan pidato Yamin itu sebagai bahan dalam memberikan pandangan mengenai dasar negara, karena pidato Muhammad Yamin, menjadi sangat penting artinya, karena Muhammad Yaminlah yang pertama mengemukakan lima dasar negara, yaitu peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan sosial.     

Saudara-saudara yang saya hormati   

Dari 32 orang pembicara tersebut, hanya empat pembicara yang secara panjang lebar menyampaikan uraian panjang lebar mengenai dasar negara yang diminta oleh ketua BPUPK, yaitu pidato Muhammad Yamin, pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo, pidato Prof Soepomo dan pidato Soekarno 1 Juni 1945. Adapun pidato anggota yang lainnya hanya sepintas menyampaikan dasar-dasar negara itu. Dari catatan risalah yang ada, terdapat 9 orang yang juga menyinggung dasar negara dalam pidatonya, namun tidak uraian panjang lebar seperti yang disampaikan oleh empat pembicara tersebut. 

Muhammad Yamin dalam pdatonya tanggal 29 Mei 1945, menguraikan lima prinsip Indonesia merdeka adalah peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan, peri Kerakyatan dan Kesejahteraan sosial. 

Ki Bagus Hadikusumo, menyampaikan pidato panjang yang mengusulkan negara Indonesia itu dibangun berdasarkan agama Islam yang mengandung hikmah dan kebjiaksanaan. 

Soepomo menyampaikan tiga aliran pikiran bernegara yaitu aliran pikiran perseorangan (individualistis), sebagaimana diajarkan Thomas Hobbes, Locke (abad 17), Rosseau (abad 18) negara yg disusun atas dasar kontrak sosial;

Kedua aliran pikiran golongan, theory kelas yang diajarkan Marx, Engel dan Lenins, aliran pikiran yang menganggap negara sebagai alat bagi golongan untuk menindas kelas lain, negara mempunyai kedudukan ekonomi paling kuat utk menindas kelompok lain;

Ketiga negara integralistik, seperti yang diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain, yaitu negara tidak untuk menjamin kepentingan perseorangan atau golongan akan tetapi kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai kesatuan dan 

Aliran pikiran yang prinsip intgeralistik, yaitu manunggalnya rakyat dengan raja (penguasa), yaitu suatu bentuk negara yang cocok dengan watak bangsa Indonesia yang beradarkan kolektivisme yang berbeda dengan negara yang berdasarkan pada individualism di Amerika dan Eropa dan golongan dalam negara komunis. 

Sedangkan Soekarno dalam pidatonya yang panjang, penuh semangat dan memperoleh perhatian sangat besar dari para anggota, pada tanggal 1 Juni 1945, menyampaikan lima dasar negara yang disebutnya dengan Panca Sila, yaitu dasar kebangsaan, internasionalisme, permusyawaratan, perwakilan dan kesejahteraan dan Ketuhanan yang dapat diperas menjadi tiga dasar (tri sila) yaitu : sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan, dan dapat pula diperas lagi menjadi satu sila (Eka Sila) yaitu “Gotong Royong”. 

Dari berbagai pandangan tersebut, dibentuklah Tim Perumus, yang disebut Panitia Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari 9 orang tokoh yaitu Ir. Soekarno. Drs. Mohammad Hatta, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Mohammad Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoeyoso, H. Agus Salim, dan Alexander Maramis. Hasil kerja Panitia Sembilan inilah yang melahirkan kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 yang disebut dengan Piagam Jakarta. Apa yang disepakati tanggal 22 Juni itu, merupakan kompromi darai golongan-golongan yang ada, oleh Soekarno disebut sebagai golongan Nasionalis dan Golongan Islam, yang isinya tetap lima dasar tetapi berubah dari lima dasar yang dikemukakan oleh Soekarno. Kemudian berubah kembali ketika dishakan 8 agustus 1945 (Pancasila sekarang ini), dan terakhir secara substansil berubah ketikah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu UUD 1945 dijiwai dan bagian tdk terpisahkan dari UUD 1945.

Saya tidak akan mengemukakan kembali segala perdebatan dan uraian yang kita telah mengetahui bersama mengenai Pancasila itu, tetapi pada kesempatan ini ijinkan saya menyampaikan sekali lagi pemahaman atas lima dasar itu, dikaitkan dengan kehidupan kebangsaan kita pada saat sekarang ini.

Saudara-Saudara yang saya hormati

Pancasila Sebagai Fundamen khidupan bangsa

Lima dasar dalam Pancasila itu adalah kristalisasi nilai-nilai kebangsaan kita yang terhimpun dari sejarah perjalanan bangsa yang berabad-abad sebelumnya dan dari seluruh wilayah nusantara yang beragam suku dan agama. Nilai-nilai itu adalah nilai yang sangat mendasar (fundamental) atau inti terbawah dari nilai-nilai sekunder yang terus berubah, tumbuh dinamis dalam permukaan. Nilai-nilai itu merupaka intisari kebudayaan bangsa Indonesia dalam kehidupan sosial kebangsaannya sehari-sehari. 

Menurut saya, antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Pancasila itu sudah menyatu menjadi satu kesatuan nilai budaya bangsa Indonesia dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila merupakan resapan dari nilai-nilai agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia terutama pengaruh agama Islam yang sangat kuat. Sebagaimana kita ketahui, sifat hakekat kebudayaan itu adalah terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia, dan nilai-nilai itu telah terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnye generasi yang bersangkutan. Maka, nilai-nilai Pancasila itu adalah nilai-nilai yang telah menjadi watak bangsa Indonesia sebelum negara Indonesia itu lahir. Nilai-nilai Pancasila, bukan diciptakan tetapi merupakan kristalisasi dari nilai yang telah ada sejak-generasi-generasi sebelumnya.

Mengenai nilai-nilai agama dan budaya yang menyatu pada nilai-nilai Pancasila itu, ada baiknya pada kesempatan ini saya menyampaikan adanya empat model hubungan hubungan antara agama dan negara yang dipraktikan di pelbagai negara :

Pertama, model negara sekuler, yaitu model hubungan negara yang memisahkan dengan urusan agama. Segala yang berkaitan dengan agama tidak boleh masuh dalam ranah negara, bahkan dalam ranah public. Agama adalah urusanb profane yang berkaitan hubungan individu dengan tuhannya, tidak dapat dibawa-bawa dalam kehidupan negara dan public.

Kedua, Negara Teokrasi yang dipraktikan di Eropa pada abad pertengahan, yaitu negara yang diatur dan jalankan dengan kuasa Tuhan, yang dalam pelaksanaannya dijalankan oleh gereja.

Ketiga, Negara Nomokrasi Islam, yaitu negara yang dijalankan atas dasar ajaran Islam dengan proses transplantasi, yaitu secara langsung menjadikan Al Qur’an dan Assunah sebagai dasar hukum dan kebijakan negara (pada umumnya mengambil satu mazhab saja untuk menghindari perbedaan)

Keempat, negara yang menjadikan ajaran agama sebagai nilai yang harus dihormati, dilindungi dan dijalankan dalam bentuk transformasi. Yaitu dijalankan nilai- nilai dan hukum agama itu yang dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan transformasi ke dalam hukum dan kebijakan negara, dalam bentuk legislasi (qanunisasi) dan dengan menghindari penerapan nilai yang bertentangan dengan ajaran agama. 

Model yang terkhir inilah yang dianut oleh Indonesia, yang secara ringkas disampaikan oleh Presiden Soeharto sebagai negara yang bukan negara sekuler dan bukan negara agama, tetapi negara yang menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman kehidupan kenegaraan.

Kesimpulan ini, dapat ditelusuri dari perdebatan dan diskurs mengenai dasar dan penyelenggaraan negara Indonesia sejak awal kebangkitan nasional hingga sekarang ini. 

Kalau kita refleksi kembali pada masa-masa awal kebangkitan nasional Indonesia dengan meneliti pikiran dan perjuangan HOS Cokroaminoto (Jang Oetama dan Sang Guru Bangsa) mengenai bagaimana nilai-nilai agama Islam dalam menghadapi tantangan kapitalisme dan marxsisme pada saat itu, maka HOS Cokroaminoto memperkenalkan ajaran “Sosialisme Islam”. Inti ajaran sosialisme Islam adalah kritik dan penolakannya atas komunisme dan kapitalisme, yang menurut Cokro, Belanda berorientasi tak berkesudahan antara kapitalisme dengan tetap memahami iman gereja dalam konteks terpisah (sekularisme). Komunisme di sisi lain melakukan penolakan terhadap jiwa kapitalisme sekaligus nilai-nilai gereja. Akan tetapi persamaan antara kapitalisme dan komunisme adalah pada jiwa materialisme dan Darwinisme sosial. Hal itu jelas bertentangan dengan Islam yang bertolak pada Tauhid, dan turunan keimanannya dalam bentuk perbuatan amal shaleh dan akhlak mulia yang diajarkan Al Qur’an dan Assunah. Tujuan hidup menurut Islam berorientasi pada hari akhir, kepada Allah, bukan pada materi seperti pada ajaran kapitalisme maupun sosialisme komunisme (Aji Dedi Darmawan, 2014 – 183). Walaupun terdapat kritik atas Sosialisme Islam yang ditulis HOS Coktoraminoto, tetapi terdapat dorongan dan semangat yang kuat untuk memberi solusi Islam atas benturan dua kutub budaya yang dominan saat itu, yaitu kapitalisme dan sosialisme komunis. 

Pandangan HOS Cokroamino, ini sangat relevan dikaitkan dengan berbagai pandangan ketika perumusan dasar negara (yang dalam Tim 9 BPUPK itu terdapat dua orang anggota syraikat Islam yaitu Agus Salim dan Abikusno serta seorang murid terkemuka dari HOS Cokroaminoto disamping sebagai menantu yaitu Soekarno). Hingga sekarang diskursus itu masih tetap hidup dan relevan. Paling tidak dalam pandangan bahwa ekonomi dan demokrasi ekonomi yang kita bangun adalah demokrasi ekonomi yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (yaitu ajaran agama, khususnya tauhid dalam ajaran Islam)   

Pada sisi lain Muhammad Hatta, sejak tahun 1932 dalam tulisannya mengenai Indonesia Merdeka, telah menawarkan suatu konsep ekonomi Indonesia yang berada diantara kapitalisme dan komunisme, yaitu konsep demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi adalah ekonomi yang dibangun atas prinsip daulat rakyat, yaitu suatu prinsip yang menempatkan rakyat di puncak kepentingan ekonomi. Rakyat yang dimaksud adalah rakyat yang hidup berdasarkan prinsip kolektivsme dan saling tolong menolong di desa-desa. Hatta menyampaikan pendapat tersebut dengan mengambil intisari dalam praktik ekonomi desa-desa di Indonesia sejak jaman dahulu kala, yang dianggap sebagai demokrasi asli Indonesia. Dalam tingkat desa itulah praktik ekonomi Indonesia dijalankan secara turun temurun sebagai budaya asli bangsa Indonesia pada masa lalu, menurut Hatta, pada tingkat atas, tidak ada demokrasi ekonomi, tetapi semata-mata otokrasi. Kerajaan-kerajaan feudal yang berkuasa di Indonesia lah yang menyebabkan Indonesia dijajah sangat lama oleh Belanda. Menurut Hatta, demokrasi asli yang ada di desa-desa di Indonesia, mempunyai tiga sifat utama yang harus dipakai sebagai sendiri perumahan Indonesia merdeka, Pertama; cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyta Indonesia dari jaman dahulu sampai sekarang dan tidak luput karena tindakan yang pelbagai rupa. Rapat iyalah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan bermufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampaklah desa demokrasi pemerintahan rakyat. Kedua, cita-cita masa protes yaitu hak rakyat untuk membantah cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya terhadap pemerintahan despotisme atau otokrasi yang tersusun di atas pundak desa demokrasi. Ketiga, cita-tolong menolong sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektiviteit. Kalau seorang di desa hendak membuat rumah atau mengerjakan sawah ataupun ditimpa bala kematian maka ia tidak perlu membayar tukang atau menggaji kuli, melainkan dibantu bersama-sama oleh rakyat desa. 

Di sinilah menurut Hatta, bedanya demokrasi Indonesia dengan demokrasi liberal yang diajarkan oleh Rosseau yang bersumber dari ajaran individualisme yang hanya menekankan pada demokrasi politik. Pada bidang ekonomi, demokrasi barat memberi kebabasan kepada pasar yang memberi kemungkinan kepada pemilik modal untuk menumpuk harta dan hanya menjadikan rakyat (kaum buruh) sebagai pekerja dengan menerima upah semata. Di sini akan terjadi pemilik modal menghisap keringat buruh dan dominasi kekuasaan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Karena kondisi yang demikianlah, melahirkan ajaran dan gerakan sosialisme komunis yang menghendaki mmasyarakat tanpa kelas yaitu dengan menempatkan golongan buruh sebagai yang berkuasa yang mewujudkan negara tanpa kelas itu. Menurut Hatta, Stem komunis yang bermula dipraktikan oleh Uni Sovyet, yang diberi nama “demokrasi rakyat” itu tidak dapat pula kita pakai, sebab itu bukan demokrasi. Demokrasi membawa penghargaan kepada manusia dan persamaan diantara mereka yang tidak ada dalam sistem komunis. Sistem komunis itu, tidak lain daripada feodalisme yang dirasionalisasi. 

Demokrasi ekonomi ndonesia yang berdasarkan daulat rakyat tidak sama dengan kedua model ekonomi itu. Demokrasi Indonesia menciptakan terlaksananya dasar-dasar kemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi ekonomi. Pandangan Hatta ini tidak memasukkan nilai agama dan ketuhanan sebagai bagian dari ajaran demokrasi ekonomi yang dibangunnya. Di sinilah perbedaan antara HOS Cokroaminoto dengan Hatta.

  Soekarno, seperti dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPK, ketika menyampaikan dasar-dasar Indonesia merdeka Soekarno menyatakan bahwa Indonesia memiliki Weltanschauung yang menjadi dasar Indonesia merdeka. Menurut Soekarno, Hitler mendirikan Jermania di atas “national-socialistische weltanschauung” yaitu filsafat nasionalisme sosialis. Lenin mendirikan negara Sovyet atas di atas satu weltanschauung yaitu Marxistiche, historische materilische. Nippon mendirikan negaranya di atas “Tennoo Koodoo Seishin”. Arab Saudi mendirikan negaranya dia atas Wltanscahuung Agama Islam. Lalu di atas weltanschauung apa kita hendak mendirikan Indonesia merdeka? 

Soekarno menawarkan satu negara kebangsaan Indonesai (nationalestaat), kebangsaan yang menyeluruh dan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme. Prinsip kedua adalah internasionalisme, yaitu internasionalisme yang bukan bermaksud kosmopolitisme yang tidak mau adanya kebangsaan. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar pada nasional demikian juga sebaliknya. Dasar ketiga adalah dasar mufakat, dasar perwakilan dan dasar permuswaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan tetapi negara “semua buat semua”. Prinsip keempat yaitu prinsip kesejahteraan. Mengenai prinsip kesejhateraan ini, Soekarno memiliki pendapat yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Hatta yaitu prinsip demokrasi ekonomi dan sosial demokrasi dan prinsip terkahir adalah prinsip Ketuhanan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, seluruh rakyat Indonesia ber-Tuhanya sendiri.

Saudara-saudara sekalian

Dari berbagai perdebatan dalam BPUPK dan Panitia 9 perumus UUD, mereka sampai pada kesepakatan yang monumental, yaitu kesepakatan 5 dasar yang merupakan Weltanschaung (philosophyschegrondslach) bangsa Indoeneia yang tercantum dalam kesepatan 22 Juni 1945 (yang disebut oleh Mohammat Yamin sebagai Piagam Jakarta), dan disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan mengubah Sila Kesatu, dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kesepakatan ini telah mengoreksi dan memperbaiki padangan Hatta maupun pandang Soekarno tentang posisi agama dalam Weltanschauung bangsa Indonesia. Perubahan itu adalah menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai causa prima dari sila-sila lainnya, yaitu merupakan sila yang inti dan memberi pengaruh pada sila-sila lainnya. Nilai-nilai Pancasila itu adalah satu kesatuan nilai yang utuh yang tidak dapat dimaknai secara terpisah-pisah, tetapi saling kait-mengkait dan saling mnegikat antara satu dengan yang lainnya. Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, mewarnai seluruh pandangan tentang kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, serta keadilan sosial. Kelima sila tersebut tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama dan telah diterima dengan tulus oleh seluruh penganut agama yang hidup di Indonesia.

Kelima sila Pancasila tersebut dipancari oleh nilai-nilai agama, seperti nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai yang dijunjung tinggi oleh ajaran agama, kedatangan para nabi dan rasul utusan Tuhan adalah dalam rangka menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu. Demikian juga, nilai persatuan Indonesia yang oleh para ulama kita menempatkan cinta negeri sebagai bagian dari iman. Nilai-nilai musyawarah, kebijaksanaan, perwakilan adalah transformasi nilai-nilai agama kehidupan kebangsaan Indonesia. Demikian juga keadilan sosial adalah ajaran yang dibawa oleh seluruh para nabi dan rasul. Ajaran keadilan sosial, menolak individualism kapitalisme dan sosialisme komunisme karena tidak menjamin keadilan sosial. 

Pada prinsipnya dalam kehidupan kebangsaan Indonesia nilai-nilai agama yang dianut dan dijalankan oleha seluruh rakyat Indonesia, telah bertransformasi ke dalam nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, paling tidak terefleksi dalam nilai-nilai Pancasila. Hubungan dan proses transformasi ini akan terus berlangsung dan menjadi wilayah tanggung jawab generasi bangsa pada masa yang akan datang, karena itulah yang menjadi jiwa dan identitas bangsa Indonesia. 

Hendaklah kita semua, terutama generasi muda bangsa terus menampatkan dan tidak saling mempertentangkan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya ini, dengan tetap menempatkan nilai-nilai agama sebagai nilai yang tertinggi, karena itulah makna dan posisi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. 

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

*Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 11 Desember 2015

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Januari 20, 2016 inci Pemikiran

 

CONSTITUTIONAL COURTS AUTHORITIES IN DEALING WITH CONSTITUTIONAL MATTERSTHEORY AND PRACTICE


By: Dr. Hamdan Zoelva, SH., MH.

 The presence of a Constitutional Court in various countries as a judiciary body which settles various constitutional problems renders important influence in the effort to actualize the rule of law and a constitutional democratic state. In this regard, the constitution occupies a central position in the life of a state. The main issue regarding the rule of law is human rights, equality before the law, limitation of power by law (due process of law) as well as an independent judiciary. Constitutions in general grant guaranty for the actualization of the rule of law and the Constitutional Court is the guard of the uprightness of the rule of law by guarding the uprightness of the constitution. Therefore, there are three important issues which are related to the constitution (constitutional issues) namely, the protection of human rights and the constitutional rights of the citizens, due process of law, the democratic process, the authority of the state institutions and organs based on the constitution. 
 At this occasion, I wish to convey one of the important issues which is related to the Constitutional Court, namely regarding the Constitutional Court with the authority granted to it to settle various constitutional problems in the life of a state, particularly the practice and the experience of Indonesia. 
 The Indonesian Constitutional Court was established in the year 2003 based on the amendment to the Constitution (Undang-Undang Dasar, UUD) of 1945 in the year 2001. Pursuant to the Constitution of Indonesia, the Constitutional Court is a judiciary institution which works based on the principles of an independent judiciary. There are five authorities of the Constitutional Court, namely:

To review laws against the constitution;

To decide on disputes regarding the authority among state institutions whose authority is granted by the constitution;

To decide on disputes regarding the result of general elections;

To decide on the dissolution of a political party, as well as

Bearing the obligation to render opinion regarding dismissal of the President.
Judicial Review

 

The Indonesian Constitution divides the authority to review a norm into two judiciary institutions namely the Constitutional Court and the Supreme Court. The Constitutional Court is limited to being authorized only to review the constitutionality of act, whereas the Supreme Court reviews various regulations other than laws (act) against the laws (acts) or a regulation in the higher sequence of order of the hierarchy, for instance a government regulation (peraturan pemerintah), a regulation of the President as well as a regional regulation (peraturan daerah). Other than like the many Constitutional Courts in other countries, the Indonesian Constitutional Court is not authorized to adjudicate a constitutional complaint, neither is it authorized to render a legal opinion according to the constitution regarding a constitutional question presented by other state institutions. Only problems regarding the constitutionality of legal norms are subject to the authority of the Constitutional Court. 

 The review of laws is a judiciary process to review the constitutionality of a law. Perceived from the substantial aspect, there are two kinds of review of laws, namely the formal review and material review. The formal review, namely to review the constitutionality of the law making with the main question to be decided by the court is namely as to whether the process of the law making has been conducted in accordance with the provisions of the constitution. If the process of the law making is proven to be contrary to or in breach of the constitution, the Constitutional Court would decide the aforesaid law unconstitutional and having no legal binding force. To date, there are only several case review of laws petitioned to and decided by the Indonesian Constitutional Court questioning the process constitutionality of the law making (formal review) namely regarding the decision making in the approval to the endorsement of bills by the People’s Representatives Council (Dewan Perwakilan Rakyat, DPR), among others the problem of the endorsement of laws regarding the Supreme Court and laws regarding the MPR, the DPR, the Regional Representatives Council (Dewan Perwakilan Daerah, DPD) and the Regional People’s Representatives Council (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, DPRD). There is no single case petitioned regarding the aforesaid formal review has been granted by the Constitutional Court. 

  Secondly, the material review, namely to review the constitutionality norms of a law, either against a whole article, part of an article or the meaning of a certain article in a law. The principal question reviewed at the Constitutional Court is whether a norm or articles, a part of an article or the meaning of the aforesaid article is constitutional or not. If it is proven that the norm reviewed in the judiciary process at the Constitutional Court is contrary to the constitution, then the aforesaid norm will be declared unconstitutional and having no legal binding force by the Constitutional Court. 
Review Procedure of Laws 

 Pursuant to the law of the Indonesian Constitutional Court, a petition to review a law can be petitioned by:

an individual Indonesian citizen, 

public legal entities including state institutions as well as private legal entities, dan

a unity of an adat law community. 

Based on the aforesaid provision each individual Indonesian citizen, legal entity and unity of an adat law community may file a petition to review a law at the Constitutional Court if any of them deem to have been harmed of their rights guaranteed by the constitution due to the existence of the aforesaid legal norms. The loss of the aforesaid constitutional right either in the form of a real loss having occurred or a potential loss which would certainly occur. A petitioner may appear directly on his/her own at the Constitutional Court or through his/her proxy. Prior to deciding on a case, the Constitutional Court shall open the trial to hear a testimony directly from the petitioner or his/her proxy, and may request explanation from the President, the DPR, the MPR, the DPD or other parties deemed to know the substance of the aforesaid case. In order to substantiate his/her petition, the Petitioner may file evidences in writing, propose witnesses or experts to be heard of their testimonies in the trial. The President or the DPR may also propose witnesses or experts to prove a testimony he/she submitted to the Constitutional Court. While the trial is in progress, to the extent that it has not been decided yet by the Constitutional Court, other parties who also perceives their constitutional right have been harmed by laws being under review may propose him/herself to the Constitutional Court as a related party. 

In the process of reviewing a law, the Constitutional Court is not obliged to hear a testimony from the President or the DPR. If the Constitutional Court deems that review material submitted, very clear and simple, the Constitutional Court may decide on a review case without hearing a testimony of the President, the DPR, witnesses or experts proposed by the parties. 
After the whole process of the examination trial of the case is conducted, the Constitutional Justices will hold a consultation to make a decision, whether the aforesaid review case be granted, be dismissed or not accepted. In this regard, each Justice conveys independently his/her opinion (legal opinion) vis-à-vis a constitutional issue in question. Each case would be sought to be decided consultative wise to achieve one single opinion, but if not, the decision is made by simple majority and the Justices in the minority may convey their dissenting opinion loaded in full in the aforesaid decision and be read out by the respective Justice in a trial open to the public. The trials of the Constitutional Court are open to the public save to consultation sessions of the Justices are held behind closed doors. 

A decision of the Constitutional Court in a review of laws applies immediately following the completion of the trial pronouncing the decision in a trial open to the public, and applies as a norm of a law. For the need of publication, the aforesaid decision will be loaded in the Official Gazette of the Republic of Indonesia. In practice of the Indonesian Constitutional Court there are at least three kinds of decisions of the Constitutional Court, namely:

Firstly, a decision declaring a petition to review not acceptable, namely if a petition does not comply with the formal requirements of a petition like for instance a petition lacking a legal standing for filing a petition or an unclear petition. 

Secondly, decision dismissing a petition namely in case of reasons of the petitioner stating that an article or norm being reviewed is contrary to the constitution is not reasoned, and 

Thirdly; a decision granting a petition, namely in case of the reason of a petition of the petitioner is legally reasoned so that a law, an article or a norm of a law being reviewed is contrary to the Constitution and declared as having no legal binding force. 

There are two kinds of decisions declaring a norm to be unconstitutional, namely:

Fully unconstitutional, namely when the aforesaid norm is contrary to the constitution unconditionally. In this regard, the Constitutional Court would purely act as a negative legislator.

Conditionally unconstitutional, namely when a norm being reviewed is declared unconstitutional subject to certain conditions in accordance with the determination of the Constitutional Court. In such a decision, the Constitutional Court acts as a negative legislator and simultaneously as a positive legislator, as beside declaring a norm to be unconstitutional and having no legal binding force, the Constitutional Court also forms a new norm in lieu of the norm declared as unconstitutional.

If a legal norm which has been decided by the Constitutional Court as a constitutional norm, in principle a petition for the same cannot be filed again for review save if there are reasons and a new reason for review which has not been brought up with the previous petition to review. There are a lot of decisions of the Constitutional Court against a norm of a law which has been subject to review and be decided by the Constitutional Court to be declared constitutional, but with the next petition to review became declared unconstitutional due to reasons and constitutional base which are different from the previous petition. If there is a new petition against a nor of a law which has been subjected to review and it turns out that it has the same constitutional reasons and base, then such a petition that follows later would be declared as ne bias in idem. 

In general the decisions of the Constitutional Court are complied with and are well executed by all state institutions. There has been only one or two decisions which have not been well executed, particularly if related to the authority of the Supreme Court. There is one example of an interesting case in this matter, namely the decision of the Constitutional Court declaring the unconstitutionality of the reason of a material unlawful act in the case of a criminal corruption. However, in its various decisions the Supreme Court keeps using the reason of material unlawful act in its criminal sentences related to cases of criminal corruption.
As the Indonesian Constitutional Court is not authorized to decide on cases of constitutional complaints and constitutional questions, the number of constitutional cases petitioned at the Constitutional Court are not too many. As of its establishment in September 2013 through December 2015 there are 701 cases to review laws which have been decided by the Constitutional Court. Nevertheless, there are a lot of petitions to review a law petitioned to the Constitutional Court have been constitutional complaints or constitutional questions in their substance. In the settlement of such cases, the Constitutional Court keeps adjudicating them, which in general if a petition is granted by the Constitutional Court, the norm reviewed would be declared conditionally unconstitutional.
There are a lot of decisions of the Indonesian Constitutional Court which bring about tremendous influence for the protection of human rights and the constitutional right of the citizens, for instance, in the frame of constitutional guaranty to equal treatment in politics as well as in government (the principle non-discrimination). For example is the decision which abolished the discrimination of political rights of former members of Indonesian Communist Party (Partai Komunis Indonesia, PKI) who as of the term of government of President Soeharto have had no political right to become a member of the parliament or state officer. Such is also in in the field of economy. The Indonesian Constitution underlined an economic system which does not embrace the principle of free market in order for the state to fulfill the principle of social justice (non-liberal economic system) and important production of the state and the management of natural resources shall be controlled by the state. There are a lot of norms of the laws which contain liberal economic system including in the management of natural resources so that there are also a lot of laws related to the field of economy and the management of natural resources that have been declared unconstitutional and having no legal binding force by the Constitutional Court. That has been conducted in the frame of the function and the responsibility of the Constitutional Court as the guard of constitutional values. 
Disputes Regarding Authorities among State Institutions

 The authority of the Constitutional Court to adjudicate and to decide on disputes regarding the authority among state institutions has its backdrop in the principle of checks and balances embraced by the Constitution of 1945 following its amendments. In the Constitution of 1945 following its amendments, each state institution has been granted the attribution of authority in order to achieve the objective of the state. In the execution of the aforesaid authorities, there is the high potential of mutual claim of authority among the state institutions based on the attribution of authority granted by the Constitution. Here lies the role of the Constitutional Court to decide as to which state institution has the authority over a certain matter. 

 A state institution having a legal standing to litigate and question a dispute regarding the authority at the Constitutional Court are only state institutions granted the attribution of authority by the constitution. Different from a review case of laws – there are no parties facing each other in a case – then in a case of dispute regarding authority there are at least two litigating parties, namely two state institutions claiming each other for the authority over a certain matter in the practice at the Indonesian Constitutional Court named the Petitioner (Claimant) and the Petitioned (Defendant). Therefore there are two requirements which shall be complied with for the filing of dispute cases among state institutions, namely:
From the aspect of the subject, the Petitioner (claimant) as well as the Petitioned (defendant) shall be state institutions as aforementioned and be granted the authority by the constitution and from the aspect of the object, and

The disputed authority is the authority granted by the constitution. 

In the constitutional practice in Indonesia there are indeed two kinds of disputes regarding the authority among state institutions, namely disputes regarding the authority related to acts of state institutions based on the authority stemming directly from the Constitution and disputes regarding the authority stemming from the authority granted by the laws. The disputes on authority due to an act (matter) the authority of which stems directly from this Constitution are indeed is dispute cases regarding the authority among state institutions. Whereas disputes regarding the authority stemming from norms of laws can be petitioned through review of laws. Disputes on authority which are based on norms of laws in the form of review of laws can be petitioned by all state institutions whether state institutions whose authority is directly granted by the Constitution as well as state institutions whose authority is granted by laws. 

 In the practice of the Indonesian Constitutional Court, although a lot of petitions have been filed as dispute cases regarding the authority among state institutions, in reality there have been only several cases which are indeed disputes regarding the authority among state institutions. In the record of the Indonesian Constitutional Court up to the year 2014, there have been only two dispute cases among state institutions decided by the Constitutional Court as disputes regarding the authority among state institutions, namely the dispute between the DPD (the Petitioner) and the President and the DPR (the Petitioned) related to the process of stipulating the members of the Audit Board (Badan Pemeriksa Keuangan, BPK) which was decided in the year 2005. Pursuant to the Constitution of Indonesia, the candidate member of the BPK prior to his/her designation by the President shall be subject to consideration of the DPD. In the designation of several members of the BPK in the year 2004 (following the formation of the DPD in the year 2004), the designation of the members of the BPK was done without the consideration of the DPD so that the DPD sued the President and the DPR to the Constitutional Court. Following the trial process, the Constitutional Court decided to dismiss the petition of the DPD, because the process the designation of the aforesaid members of the BPK was commenced prior to the formation of the DPD and was conducted based on laws prior to the amendment to the Constitution of 1945. The second case in the year 2012 was a dispute regarding the authority between the President (the Petitioner) and the DPR and BPK (the Petitioned). In the aforesaid case the President had problems to conduct the purchase by the government of shares divested by PT Newmont by using the investment project of the government as it was hampered by the DPR. However, according to the DPR the purchase of the aforesaid divested shares shall be subject to the approval of the DPR. After a rather long process of trials examining evidences and hearing the testimony of experts, the Constitutional Court decided to dismiss the suit of the President because according to the Constitutional Court the withdrawing of money from the funds of the investment project of the government shall be subject to the approval of the DPR.

 The dispute cases between an institution petitioned by a state institution whose authority is not granted by the Constitution but is only based on the authority granted by laws have all been declared unacceptable by the Constitutional Court as they have not complied with the formal requirements of the subject and object of the petition to disputes among state institutions.
Disputes Regarding the Result of General Elections

 The Indonesian Constitution rendered the authority to decide on disputes regarding the result of general elections to the Constitutional Court and not to the Supreme Court. At least, there are two reasons for placing the aforesaid authority under the Constitutional Court, namely a substantial reason and a technical reason. Substantially disputes on the result of general elections are constitutional disputes as they are linked to the guaranty and the protection of rights and political process having their source in the Constitution. The Indonesian Constitution (the Constitution of 1945 after its amendments) regulated general elections in one separate chapter, which at least contains five important principles, namely: 

General elections are executed periodically once in every five years;

General elections shall be executed by respecting principles of being direct, public, confidential, free, honest and equitable;

The organizers of general elections shall be independent, and

General elections are conducted to elect members of the DPR, the DPD, the DPRD, the President and the Vice President.

Violations against the aforesaid principles are violations against the Constitution. As a state embracing the constitutional system and having the Constitutional Court to settle constitutional matters, then disputes on the result of general elections become the authority of the Constitutional Court to decide thereon.
Secondly, a technical problem. Decisions regarding disputes on the result of general elections requires quick and final decisions as well as achieving full legitimacy as well, because it is related to the constitutional agenda which shall not pass the term of offices of the state institutions. That is fulfilled if that authority is given to the Constitutional Court. A decision of the Constitutional Court is conducted based on the principle of full bar, namely all the Constitutional Justices participate in the decision making of a case, so that it closes the possibility of efforts to appeal against a decision as it will be decided by the same tribunal of Justices. With such a decision mechanism two objectives are achieved, namely the speed and finality in the settlement of disputes and strong legitimacy.

 There have been three general elections following the amendments to the Constitution of 1945 and following the formation of the Constitutional Court. There have been three times as well that the Constitutional Court decided on various disputes on the result of general elections, regarding disputes on the result of the election of members of the DPR, members of the DPD, members of the DPRD, and the election of the President and the Vice President. The decision of the Constitutional Court regarding disputes on the result of the election of members of the DPR, the DPD and the DPRD has tremendously changed the composition of members of the DPR, the DPD and the DPRD which has been stipulated by the Commission of General Elections, as there have been a lot of stipulations on the result of general elections by the Commission of General Elections which contained mistakes or errors that became corrected at the Constitutional Court. All the result of the election of the President and the Vice President who are directly elected by the people in Indonesia (as of the year 2004) have always been petitioned to the Constitutional Court as dispute cases on the result of general elections. From all the aforesaid cases there has been no single case granted by the Constitutional Court. 

 Besides, as of the year 2008, the Constitutional Court has been granted the authority to decide on disputes on the result of the election of regional heads in all over Indonesia (in the provinces as well as in the regencies (kabupaten) and cities (kota). In deciding on various disputes on the result of elections of the aforesaid regional heads, there have been a lot of types of decision of the Constitutional Court cancelling the result of the stipulation of the Commission of General Elections (Komisi Pemilihan Umum, KPU), among others the cancellation of the result of the election of stipulated by the KPU and deciding: 

To correct the result of the stipulation of the ballot counting leading to the change of the candidate winner;

To order the KPU to repeat the ballot counting in parts as well in the whole constituency;

To order the KPU to repeat voting in parts as well in the whole constituency;

To order the KPU to disqualify (to strike) the participation of candidates who do not comply with the requirements and ordering the repeat of voting;

To order the KPU to include the names of the candidates qualified by the KPU and ordering the repeat of voting.

In deciding on disputes on the result of the election of regional heads, the Constitutional Court discovered various forms of norm violations against the Constitution including violations against the right to be elected and to elect, violations against the election process which shall be free and fair, violations against the rights of candidates as well as violations against the principle of independency of the organizers of general elections. From all the kinds of the aforesaid violations there are three groups of violations, namely violations in ballot counting, violations in the election process that are systematic, structured and massive in nature as well as violations in the process of determining candidates, so that the Constitutional Court had to cancel the election results. Violations that are systematic, structured and massive in nature namely violations in the election process involving the government structure namely the organizers of the elections, the candidates and their campaign teams either jointly as well as severally. They have been systematic as the aforesaid violations have been prepared and planned to win the election unfairly and they have been massive in terms that the aforesaid violations have not been sporadic or have been only several violations. 

 In the conduct of its authority to decide on various disputes on the result of general elections, the Indonesian Constitutional Court has been present as a judiciary that can be said to be rather respected, credible and all of its decisions regarding disputes on the election results have been respected. The Constitutional Court has guarded the democratic process di Indonesia peacefully up to the third direct elections in the era of the Reformasi in the year 2014. The Indonesian journey as a constitutional democratic state in the last 15 years has gone through a correct path. The Constitutional Court is one of the state institutions which guards and ensures that that process proceeds correctly. 
Dissolution of a Political Party 

 One of the authorities of the Constitutional Court according to the Indonesian Constitution is to decide on the dissolution of political parties. The granting of the aforesaid authority was based on the consideration that political parties are one of the very important pillars for democracy, so that the dissolution of political parties cannot be conducted easily but shall be through judiciary process particularly the judiciary of the Constitution. In Indonesia‘s political experience, there had been a time when the dissolution of political parties was conducted only by virtue of a decision of the President, when the first President of Indonesia (Mr. Soekarno) dissolved ones of the strongest parties in Indonesia at the time namely the Masyumi Party and the Indonesian Socialist Party (Partai Sosialis Indonesia) in the year 1960. That experience has inspired the formulation of the amendment to the Constitution of 1945 to regulate the dissolution of a political party shall be by virtue of a decision of the Constitutional Court. 

 In the process of the dissolution of a political party as regulated in the Law on the Constitutional Court, the filing of a petition to the dissolution of a political party to the Constitutional Court can only be made by the government. The only reason for a dissolution shall be only that a political party has conducted activities or proclaims its activity program which violates and undermines the state ideology of Pancasila. Up to the end of the year 2015, there have not been a case of the dissolution of a political party petitioned by the government and adjudicated by the Constitutional Court. There have been several cases petitioned by a group of individuals, but declared not acceptable by the Constitutional Court, as they did not comply with requirements namely not fulfilling legal standing.  

 

Dismissal of the President

 The dismissal of the President in Indonesia is conducted by the MPR (having members consisting of all the members of the DPR and members of the DPD) after receiving a proposal from the DPR. Prior to submitting a proposal to the MPR the DPR shall first conduct an investigation and search to substantiate that the President has committed a violation against the law in the form of treason against the state, corruption, bribery and other felonies or irreproachable act as well as if he/she is proven to be no longer qualify as President and/or Vice President. 

 If the result of the aforesaid investigation substantiated that the President has committed a violation against the Constitution and became a decision of the DPR, the DPR would file a petition to the Constitutional Court to decide on the truth of the aforesaid opinion of the DPR according to the law and the Constitution. In this regard the Constitutional Court would only render a kind of legal opinion to be conducted through a trial process by hearing a testimony of the DPR, a testimony of the President, examining evidences, witnesses and the testimony of experts up to the decision confirming the opinion of the DPR or not confirming the opinion of the DPR. In deciding on the aforesaid petition of the DPR, the Constitutional Court would examine various testimonies and evidences to respond to the subject matter in a petition of the DPR namely whether the opinion of the DPR has been conducted in accordance with the correct decision making process according to the law and whether the reasons for dismissal according to the law and the Constitution.

 If the decision of the Constitutional Court confirmed the opinion of the DPR, then the DPR would propose the dismissal of the President to the MPR. It is fully the authority of the MPR whether the President be dismissed or not be dismissed. Otherwise, if the decision of the Constitutional Court dismissed the opinion of the DPR, then the dismissal process would stop at the decision of the Constitutional Court and the President would be safe and would remain in his/her office. There have not been a case of dismissal of the President in Indonesia following the establishment of the Constitutional Court.
Closing Word 

 At the end of this presentation, I could conclude that the Indonesian Constitutional Court has the authority limited to handle and adjudicate all constitutional problems. That said, not all constitutional problems can be brought to be decided by the Constitutional Court. A review of a norm which is not a norm of laws although related to a constitutional issue is not the authority of the Constitutional Court. Such is also with real violations of constitutional rights caused by a state organ harming the constitutional rights of the citizens, which also cannot be petitioned to be decided by the Constitutional Court. 

 Nevertheless with the authority possessed now, the Indonesian Constitutional Court has made an important contribution and motivation for the upholding of the principles of a state of law, the rule of law and a constitutional democratic state. The Indonesian Constitutional Court has become a place for the people to obtain guaranty of their rights as citizens against various violations against constitutional rights thanks to the existence of laws applied by the state. State institutions have therefore also obtained means towards equitable settlement according to the Constitution if there occur disputes regarding the authority among state institutions. The role of the Indonesian Constitutional Court has obtained a good appreciation from the people. 

——————————————————

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 20, 2016 inci Pemikiran

 

IMPLEMENTASI IDIOLOGI PANCASILA


Pendahuluan

Umum diketahui bahwa idiologi Pancasila itu adalah idiologi yang bersumber dari lima nilai dasar dalam rumusan Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus 1945 sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 19945. Rumusan Pancasila tidak lahir dari ruang hampa, tetapi lahir dalm situasi dan kondisi lingkungan kehidupan antar bangsa yang sedang menghadapi pertarungan idiologi yang tajam antara idiologi kapitalisme dan komunisme. Indonesia yang sedang dijajah Belanda sedang mengalami pergolakan untuk merdeka yaitu keluar dari kungkungan penjajahan yang dianggap sebagai refleksi dari idiologi liberalisme-kapitalisme yang pada dasarnya bersifat imperialis. Pada sisi lain, tumbuh gerakan idiologi yang progresif revoilusioner terutama setelah revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917 yang mendasarkan pada idiologi komunisme yang diajarkan oleh Karl Max yang menantang kapitalisme. 

Demikian juga persilangan pemikiran para founding fathers yang berbeda latar belakang agama, pendidikan, suku serta budaya sangat mempengarhu lahirnya rumusan Pancasila itu. Namun demikian, pada umumnya para founding fathers – sebagaimana dapat dibaca dalam risalah BPUPK – menolak secara tegas kapitalisme dan pada sisi lain tidak dapat menerima komunisme Marxisme dan memiliki kesadaran yang sama untuk menemukan suatu garis idiologi sendiri yang berakar dari budaya masyarakat dan bangsa Indonesia asli. Tidak kapitalis dan tidak juga Marxis. 

Kesepakatan lima dasar dalam Pancasila itu adalah kesepakatan umum yang dapat diterima oleh seluruh founding fathers, yang menurut J. Relay, kesepakatan kesepkatan umum dalam rumusan konstitusi cenderung menyembunyikan hal-hal detail yang sebenarnya tidak disepakati. Untuk menghindari deadlock disepakatilah rumusan umum seperti itu, yang dalam tahap implementasi akan menjadi perdebatan kembali tentang makna dan detail dari rumusan itu. Di sinilah makna sistem pemerintahan konstitusionalisme yang memungkinkan segala perdebatan dimungkinkan dalam lingkup rumusan umum dalam konstitusi.  

Oleh karena itu memahami Pancasila, haruslah memahami sungguh-sungguh latar belakang lahirnya, perdebatan diantara para perumus yang menyapakatinya serta lingkup penerapannya dari masa ke masa. Uraian makalah singkat ini bermaksud untuk memaparkan secara sederhana penerapan idiologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Makna Awal

Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945 di hadapan rapat BPUPK memperkenalkan istilah “Panca Sila”, sebagai istilah yang merangkum lima dasar yang dikemukakannya sebagai dasar Indonesia merdeka. Kelima dasar negara menurut Soekarno: i) kebangsaan Indonesia, ii) internasionalisme atau kemanusiaan, iii) mufakat, perwakilan dan permusyawaratan, iv) kesejahteraan sosial, dan v) Ketuhanan. Kelima sila tersebut dapat diperas menjadi tiga yang disebutnya dengan Tri Sila, yaitu: i) socio-nationalisme, 2) socio democratie dan iii) ke-Tuhanan serta dapat diperas lagi menjadi Eka Sila, yaitu : gotong royong. Prinsip kebangsaan menurut Soekarno adalah prinsip menyatukan Indonesia, menyatukan seluruh rakyatnya beserta tanah dan airnya. Dalam pidato tersebut Soekarno berusaha meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo yang berbicara sebelumnya yang menawarkan negara berdasarkan Islam dengan menekankan bahwa negara yang kita bangun adalah negara berdasarkan kebangsaan. Kebangsaanlah yang menyatukan seluruh rakyat Indonesia yang berbeda suku, agama, budaya, serta menyatukan tanah dan air dalam satu kesatuan, yaitu kebangsaan Indonesia. Hal yang sama, ditekankan oleh Agus Salim, bahwa persatuan Indonesia yang menyatukan seluruh keragaman bangsa Indonesia menjadi suatu negara yang kuat. Segala perbedaan diselesaikan secara musyawarah mufakat.  

Ada tiga aliran pemikiran tentang negara menurut Soepomo, yaitu pertama, ada satu aliran pikiran yang menyatakan bahwa negara itu terdiri atas dasar teori perseorangan. Menurut aliran pikiran ini, negara ialah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat itu (social contract). Susunan hukum negara yang berdasar individualisme terdapat di negeri Eropa Barat dan Amerika. Kedua, aliran pikiran lain tentang negara ialah teori “golongan” dari negara (class theory) sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain yang mempunyai kedudukan yang lembek. Negara kapitalis adalah perkakas bourgeousi untuk menindas kaum buruh. Oleh karena itu, para Marxis menganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan negara agar kaum buruh ganti menindas borjuis. Ketiga, aliran pikiran lain adalah teori yang dapat dinamakan teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain (abad ke-18/19). Menurut pikiran ini, negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Soepomo menganjurkan agar negara Indonesia yang hendak dibangun adalah negara yang berdasarkan aliran pikiran integralistik karena aliran pikiran nasionalis sosialis, yaitu prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya cocok dengan aliran pikiran ketimuran.

Soepomo sebagaimana pidatonya pada sidang BPUPK 31 Mei 1945 menghendaki suatu negara dengan prinsip integralis, yaitu persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia bathin antra micro-cosmos dengan macro-cosmos antara rakyat dan pemimpinnya. Soepomo menyatakan “Maka teranglah tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi segala golongan-golongan dalam lapangan apapun.”  

Pikiran negara integralistik ini dikhawatirkan oleh Moh. Hatta dan juga Yamin, akan menghilangkan hak-hak individu sehingga menjadi negara yang otoriter. Selain itu, beberapa tokoh yang mengemukakan pandangannya mengenai dasar negara, antara lain: dikemukakan oleh : i) Muhammad Yamin yang juga mengemukakan empat dasar, yaitu negara kebangsaan, dasar kemanusiaan (internasionalisme), Ketuhanan, permusyawaratan-perwakilan-kebijaksanaan, ii) Wiranatakoesoema yang mengemukakan pentingnya dasar agama, akhlak dan kemanusiaan, iii) Woerjaningrat yang mengusulkan dasar kekeluargaan dan internasionalisme, iv) Soesanto Tirtoprodjo yang mengusulkan dasarnya negara adalah semangat kebangsaan, hasrat persatuan, dan rasa kekeluargaan, v) Dasaad yang mengusulkan dasar negara adalah Ketuhanan, vi) A. Rachim Pratalykrama yang mngusulkan dasar negara adalah prinsip persatuan, dan agama Islam sebagai agama negara), vii) Abdul Kadir yang mengusulkan dasar negara adalah persatuan, pendidikan rakyat, dan pembangunan ekonomi, serta viii) Ki Bagoes Hadikoesoemo mengusulkan ajaran Islam sebagai dasar negara yang menjamin adanya persatuan, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, mesyawarah dalam politik, dan lain-lain. 

Kesemua pandangan tersebut menunjukkan adanya ragam pandangan dari para tokoh tentang dasar negara yang dicita-citakan, yang pada akhirnya mengerucut pada dua pandangan besar yaitu para tokoh yang menghendaki dasar negara itu adalah Islam dan para tokoh yang menghendaki dasar negara itu adalah negara kebangsaan. Perbedaan tersebut diselesaikan dalam rumusan kesepakatan yang sangat dikenal dengan istilah Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, yang kemudian disepakati dalam rumusan yang sedikit berbeda pada saat penyesahan undang-undang dasar tanggal 18 Agustus 1945. Rumusan akhir ini telah mengakomodasi berbagai pandangan yang ada.

Pada rumusan mengenai struktur kelembagaan negara, para founding fathers membayangkan sebuah negara kekeluargaan yang segala masalah negara yang strategis dimusyawarahkan dalam lembaga MPR yang merupakan perwakilan seluruh unsur rakyat yang terdiri dari anggota DPR yang dipilih rakyat, ditambah dengan utusan daerah dan utusan berbagai golongan masyarakat yang ada. MPR-lah yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat, menetapkan UUD, menetapkan garis-garis besar haluan negara serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun ada sesuatu yang sedikit aneh bagi saya, ketika dasar falsafah negaranya adalah musyawarah mufakat tetapi dalam UUD itu mengatur bahwa Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, MPR bisa melakukan apa saja karena itulah pernyataan kehendak rakyat. Keindahan konsep, kejernihan pikiran yang tertuang dalam kesepakatan dasar haruslah diuji dalam implementasi, yaitu implementasi dalam kehidupan riil kenegaraan yang penuh dinamika.

Implementasi Awal

Periode awal implementasi idiologi Pancasila (1945-1949) menunjukkan sesuatu yang tidak terpola bahkan dalam banyak hal keluar dari desain awal saat UUD itu disusun. Hal itu dapat dipahami karena Indonesia menghadapi pergolakan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang menjadi kebijakan negara sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang dihadapi sehingga seperti terlepas dari desain awal yang dicita-citakan. Hal terpenting yang menjadi dasar kebijakan negara pada saat itu adalah keberlangsungan Indonesia merdeka. Oleh karena itu, dinamika politik pada hari-hari awal kemerdekaan mengharuskan pimpinan negara mengubah struktur dan hubungan kelembagaan negara yang menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, tetapi berubah menjadi parlementer, ketika kabinat (para menteri) bertanggung jawab kepada KNIP (khususnya Badan Pekerja KNIP). Kewenangan presiden menjadi terbagi. Segala kebijakan presiden harus berkompromi dengan KNIP.  

Model penyelenggaraan pemerintahan yang demikian, kemudian diperkuat dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950). Walaupun prinsip-prinsip dasar Pancasila termuat dalam pembukaan Konstitusi RIS maupun UUDS, pasal-pasal dalam kedua konstitusi tersebut seperti keluar dari falsafah Pancasila sebagaimana dirumuskan pada awalnya. Sistem pemerintahan negara tidak lagi menempatkan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kedaulatan rakyat. Presiden hanya menjadi presiden nominal, karena sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlemnter yaitu cabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Jaminan hak asasi manusia diperluas, bahkan terdapat 47 pasal Konstitusi RIS dan UUDS mengenai jaminan hak asasi manusia. Era inilah yang disebut dengan era demokrasi liberal dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yang ditandai dengan sistem pemerintahan parlementer, kebebasan berpendapat, kebebasan mendirikan partai politik sehingga pada pemilu pertama tahun 1955 terdapat 48 partai politik dan perseorangan sebagai peserta pemilu. Walaupun demikian, penyelenggaraan pemilu tersebut dicatat dalam sejarah sebagai pemilu yang sangat jujur dan adil dan melahirkan para wakil rakyat yang mendapat legitimasi penuh dari rakyat. Pada saat yang sama terjadi gonta ganti kabinet (kabinet jatuh bangun karena kepentingan politik) dan pemerintahan menjadi tidak stabil, program pemerintahan di bidang ekonomi terabaikan.

Bergerak Ke Sudut Ekstrim 

Mulai akhir 1956, Soekarno melihat sumber masalah pada partai-partai politik dan meminta agar partai-partai politik dibubarkan, kemudian memperkenalkan sebuah konsepsi baru sistem pemerintahan, yaitu “Demokrasi Terpimpin”. Presiden Soekarno berpandangan bahwa cara pembentukan pemerintahan atas dasar demokrasi parlementer yang bersifat kepartaian dengan paham politk liberal, tidak akan sanggup membawa negara kita keluar dari segala kesulitan yang dihadapi. Soekarno mengambil jalan luar biasa untuk membentuk Kabinet Karya yang bersifat darurat extra parlementer. Menurut keyakinan Soekarno, susunan ketatanegaraan yang berdasarkan “multipartisme”, seperti dianjurkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 itu, ternyata tidak cocok dengan cita-cita umum masyarakat karena hanya menimbulkan politik “free fight liberalism” dan politik tersebut menghambat pembangunan negara di segala lapangan. 

 Demokrasi terpimpin menurut Soekarno adalah suatu demokrasi penyelenggaraan atau satu “werk democracy” yakni untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa Indonesia, terutama sekali di bidang sosial, yaitu satu masyarakat adil dan makmur. Sebagaimana keterangan pemerintah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Perdana Menteri Juanda, demokrasi terpimpin berarti demokrasi yang harus mempunyai disiplin dan harus mempunyai pimpinan. Demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur, suatu masyarakat yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil, sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Masyarakat adil dan makmur tidak lain daripada masyarakat teratur dan terpimpin. Untuk menyelenggarakan masyarakat yang demikian itu diperlukan suatu pola, dan untuk menyelenggarakan pola itu harus dipergunakan demokrasi terpimpin. Dengan demikian, demokrasi terpimpin pada hakikatnya adalah demokrasi penyelenggaraan (werkdemocratie). Adapun perancang pola itu adalah Dewan Perancang Nasional. 

 Menurut Soekarno demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi terpimpin, dilakukan penertiban kehidupan kepartaian, menyalurkan golongan-golongan fungsional sebagai kekuatan politik, serta keharusan adanya jaminan kelanjutan program pemerintah. Sementara itu, Yamin mengartikan demokrasi terpimpin sebagai guided democracy, yang berarti pula orgonized democracy, dipimpin tidak oleh perseorangan; juga tidak berbentuk gecentraliseerde materialisme, melainkan oleh organisasi nasional sendiri. Oleh karena itu, demokrasi terpimpin di tanah Indonesia menurut ajaran Pancasila adalah orgonized democracy.

 Lahirnya demokrasi terpimpin oleh Adnan Buyung Nasution dianggap sebagai lahirnya totaliterisme. Menurut Nasution, pada akhir 1950-an mulai tampak adanya tanda-tanda penyimpangan terhadap asas-asas universal pemerintahan yang baik. Berbagai kesulitan–di bidang politik maupun ekonomi–yang dihadapi bangsa Indonesia ketika itu dianggap melulu bersumber dari sistem pemerintahan yang dijalankan, yang dituduh sebagai barang impor, sehingga Soekarno mengenalkan model demokrasi terpimpin. Kenyataannya praktik politik rezim demokrasi terpimpin tak jauh berbeda dengan pemerintahan negara integralistik-totaliter. Hal itu terbukti dengan terkonsentrasinya seluruh kekuasaan di tangan Presiden. Pada tahun 1962, lembaga tinggi negara (DPR, MA, BPK, DPR) dan lembaga tertinggi negara (MPR) dijadikan pembantu Presiden. Presiden berkuasa mutlak.

 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 beserta konsep demokrasi terpimpin sebagai bagian tidak terpisahkan dari dekrit tersebut benar-benar telah memberikan kekuasaan penuh di tangan presiden tanpa pembatasan. Walaupun demokrasi terpimpin berlandaskan konstitusi, yaitu UUD 1945, karena UUD 1945 yang sangat ringkas, fleksibel dan memberikan peluang yang sangat besar untuk tumbuhya negara kekuasaan yang bertumpu pada presiden—telah mengakibatkan pelaksanaan kekuasaan dalam demokrasi terpimpin hanya bertumpu pada Presiden Soekarno. 

Konsentrasi kekuasaan di tangan presiden dimulai dengan pembentukan lembaga-lembaga negara, yaitu MPR, DPR, DPA, BPK dan pengisian pejabat-pejabatnya yang semuanya dilakukan oleh Presiden. Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden yang kedudukannya sama, bahkan di atas undang-undang, karena bersumber langsung dari Dektrit Presiden 5 Juli 1959. 

Di samping itu, sejak tahun 1962, Ketua Mahkamah Agung, Ketua MPRS, Ketua DPR, serta Wakil Ketua DPA, semuanya merangkap sebagai menteri dan anggota kabinet yang berada di bawah presiden yang merangkap sebagai Perdana Menteri. Presiden berwenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan UU N0. 19/1964, dan bidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR, serta Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat. Bahkan pada 1960, Presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955 dengan Penetapan Presiden No. 3/1960. Prinsip pembatasan kekuasaan serta check and balances sebagai ciri negara hukum dikesampingkan. Demokrasi terpimpin telah menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan negara tanpa batas yang dikukuhkan lagi oleh MPR(S) dalam sidang umumnya tahun 1963 yang mengangkat Presiden Republik Indonesia Soekarno untuk jabatan semumur hidup.   
Usaha Menarik Ketengah 

 Karena kegagalan demokrasi terpimpin yang ternyata telah membawa kemunduran di berbagai segi kehidupan, Presiden Soeharto dengan membawa semangat baru (Orde Baru) hendak mengoreksi pemerintahan Soekarno dengan tekad melaksanakan Pancasila dan undang-undang dasar secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, pada kenyataanya demokrasi Pancasila yang diterapkan Soeharto justru melanjutkan konsep demokrasi terpimpin yang dilaksanakan Soekarno dengan beberapa koreksi dan mengubahnya dengan sebutan demokrasi Pancasila. Kedua konsep demokrasi ini memiliki beberapa kesamaan prinsipil, antara lain:

menganut paham negara integralistik dan kekeluargaan;

bersumberkan pada UUD 1945 dan Pancasaila sebagi dasar falsafah negara;

menolak demokrasi liberal yang dianggap sebagai demokrasi yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia;

diangkatnya unsur golongan fungsionail dalam anggota DPR di samping Utusan Golongan dalam MPR;  

pembatasan terhadap partai politik;  

kepemimpinan negara yang berpusat pada Presiden;

berorientasi pada jaminan dan kosisten pencapaian tujuan dan target. 

Oleh karena itu, dalam demokrasi Pancasila ala Orde Baru juga tidak mengenal prinsip check and balances dan perimbangan kekuasaan karena kekuasaan tertinggi ada di tangan MPR yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh presiden. Dalam hal ini presiden bertindak selaku mandataris MPR sehingga dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara presidenlah yang paling berkuasa.

Walaupun kenyataanya, pada sisi lain, implementasi demokrasi Pancasila yang dikembangkan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto—yang membedakannya dengan demokrasi terpimpin—adalah dilaksanakannya pemilihan umum secara rutin lima tahunan untuk mengisi anggota DPR, pergantian anggota MPR serta pemilihan presiden secara rutin setiap lima tahun, pengisian ketua dan anggota lembaga-lembaga negara lainnya berdasarkan undang-undang, serta diberikannya kewenangan setiap lembaga negara sesuai dengan UUD 1945. 

Secara formal dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemerintahan negara di bawah pemerintahan Soeharto mengikuti prinsip hukum dan konstitusi. Secara formal juga terdapat pembagian kekuasaan antara lembaga negara sesuai dengan UUD, kekuasaan peradilan yang independen dan tidak memihak, pembentukan pengadilan tata usaha negara. Namun, pemerinatahan Orde Baru memiliki sisi gelap dalam penegakan hak asasi manusia. 

Demokrasi Pancasila, menurut Sudharmono, adalah demokrasi berdasarkan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, tidak kurang dan tidak lebih. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sebutan demokrasi Pancasila juga untuk membedakan dengan—dan sebagai koreksi terhadap—sebutan demokrasi terpimpin pada era orde lama. Akan tetapi, hasil penelitian dari John Pieris atas praktik pemerintahan Orde Baru menyimpulkan bahwa, baik dalam menjalankan pemerintahan negara maupun pertanggungjawabannya, sepenuhnya berada di tangan Presiden sehingga mekanisme checks and balances tidak dapat terwujud sebagaimana mestinya. Demikian juga, MPR yang diletakkan sebagai lembaga tertinggi negara memiliki kekuasaan yang sangat besar, yaitu sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya dalam sistem pemerintahan. Akibatnya, hubungan antarlembaga negara tidak mungkin terjadi checks and balances karena sumber kedaulatan rakyat ada pada MPR sendiri. Posisi MPR yang demikian dimanfaatkan sedemikian rupa oleh presiden untuk memperkuat kedudukannya dengan mengangkat anggota MPR yang memberikan dukungan politik kepada Presiden. Akibatnya, kedudukan Presiden yang ditempatkan sebagai mandataris MPR benar-benar mengambil alih kekuasaan MPR dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Koreksi Atas Demokrasi Pancasila Orde Baru 

 Perubahan UUD 1945 menata kembali sistem pemrintahahan Indonesia dengan merumuskan kembali peran dan fungsi setiap cabang kekuasaan pemerintahan. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi untuk menghindarkan dominasi satu cabang kekuasaan atas cabang kekuasaan pemerintahan lainnya. Selain itu, prinsip pengawasan dan perimbangan juga dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan cabang pemerintahan lainnya.

Pada dasarnya prinsip pengawasan dan perimbangan di dalam pengelolaan negara bersumber pada pembagian kekuasaan negara di antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dikenal dengan sebutan trias politica. Format pengawasan dan perimbangan ini diletakkan dalam kerangka konstitusi. UUD 45 pasca-perubahan memuat ketentuan yang mengatur dan membatasi kekuasaan setiap cabang pemerintahan yang tercermin dalam struktur dan fungsi kelembagaan negara yang berbeda.

 Posisi dan struktur MPR setelah perubahan UUD 1945 tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat – sebelum perubahan, MPR adalah melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, siapa pun presiden yang dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Sebaliknya, bila Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenan. 

Selain itu, pembatasan kekuasaan yang diisyaratkan dalam UUD juga mengatur beberapa kewenangan yang dimiliki oleh satu cabang kekuasaan pemerintahan, membutuhkan pengesahan dan persetujuan dari cabang-cabang kekuasaan pemerintahan yang lain. Seperti beberapa kewenangan yang ada pada Presiden yang membutuhkan pengesahan dan persetujuan DPR atau Mahkamah Agung dalam pelaksanaannya. Demikian pula, sebaliknya, kewenangan-kewenangan yang ada pada DPR sebagai lembaga legislatif membutuhkan pengesahan dan persetujuan cabang kekuasaan pemerintahan lainnya, yaitu Presiden, dan kekuasaan DPR dan presiden dapat dibatasi oleh Mahkamah Konstitusi. Hakim Agung di Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan yudikatif harus diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diangkat oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari DPR.  

Perubahan UUD 1945 meneguhkan bentuk pemerintahan Indonesia sebagai pemerintahan yang menganut sistem presidesial. Perubahan UUD 1945 memperkuat kedudukan Presiden, yaitu dengan mempersulit pemakzulan presiden. Proses pemakzulan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang terbatas dan mekanisme yang rumit. Jika pemilihan dan pengangkaan Presiden dan Wakil Presiden sebelum perubahan UUD dilakukan MPR, maka setelah perubahan, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Karena dipilih langsung oleh rakyat, Presiden mendapat legitimasi langsung dari rakyat dan kedudukannya menjadi lebih kuat di hadapan lembaga negara yang lainnya, termasuk di hadapan MPR. Konsekuensinya, adanya jaminan bahwa Presiden dan Wakil Presiden akan menduduki masa jabatannya dalam waktu tertentu (fix periode), lima tahun, dan tidak mudah diberhentikan hanya karena dinggap melakukan kebijakan politik yang salah. 

 Dalam hubungannya dengan kekuasaan presiden dan DPR, kedudukan DPR sangat kuat, tidak menjadi untergoernet, melainkan neben terhadap pemerintah. UUD secara tegas menentukan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, dalam mengangkat duta besar dan menerima duta dari negara lain, Presiden juga harus memperhatikan pertimbangan DPR. Demikian juga pemberian amnesti dan abolisi juga membutuhkan pertimbangan DPR serta pembuatan perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara juga memerlukan persetujuan DPR.

 Berkaitan dengan pembentukan undang-undang, DPR mendapatkan penguatan posisi dan kewenangan. Jika UUD sebelum perubahan, DPR hanya memberikan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden, setelah perubahan, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang harus mendapatkan persetujuan bersama dengan presiden. Apabila persetujuan ini tidak dapat diperoleh, rancangan undang-undang tersebut tidak dapat diajukan kembali dalam persidangan DPR pada masa itu.

 Selain itu, dalam melaksanakan prinsip pengawasan dan perimbangan kekuasaan, DPR dibekali hak-hak interpelasi (mengajukan pertanyaan), hak angket (melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat (mosi, memorandum). Di samping itu, setiap anggota DPR juga memiliki hak-hak untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (bebas dari tuntutan hukum).

Di samping itu, pengawasan dan perimbangan kekuasaan Presiden tidak hanya dihadapkan pada kekuasaan legislatif, tetapi juga terhadap kekuasaan yudikatif. Di samping segala keputusan Presiden yang dapat dibatasi oleh pengadilan, kekuasaan presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dibatasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman.

Pemakzulan Presiden, setelah perubahan UUD 1945, tidak dapat dilakukan hanya karena alasan-alasan politis. Presiden hanya dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya hanya dengan alasan-alasan melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, serta perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden (pasal 7A). Berbeda dengan sistem presidensial yang dianut sebelum perubahan yang menempatkan Presiden di bawah MPR, dalam hal ini MPR yang mengangkat dan dapat memberhentikan presiden walaupun dengan alasan-alasan politis karena presiden diposisikan sebagai mandataris MPR. Jadi, sistem ini sebenarnya hampir sama dengan sistem parlementer yang menganut supremasi parlemen atas eksekutif.

Mekanisme pemakzulan presiden setelah perubahan harus menempuh mekanisme yang sulit dan panjang, yaitu melalui pengkajian dan penyelidikan yang dilakukan oleh DPR yang menghasilkan pendapat berupa keputusan DPR mengusulkan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR. Sebelum proses pengajuan ke MPR, DPR harus terlebih dahulu meminta putusan Mahkamah Konstitusi apakah secara yuridis pendapat DPR ini dibenarkan atau tidak secara konstitusi. Jika putusan DPR secara yuridis tidak berdasar, usulan pemberhentian itu tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya, kalau secara yuridis benar, DPR melajutkan usulan itu kepada MPR untuk memutuskan pemakzulan Presiden. Atas pertimbangannya sendiri, MPR dapat memberhentikan atau tidak memberhentikan presiden berdasarkan jumlah dukungan suara anggota MPR. Logikanya jika usulan pemberhentian tersebut telah mendapat dukungan kuat dari anggota DPR, dapat dipastikan akan mendapat dukungan kuat dari MPR karena lebih dari dua pertiga anggota MPR adalah anggota DPR.

Evaluasi Implementasi Idiologi Pancasila

Dari uraian di atas dapatlah ditarik suatu benang merah bahwa impelemntasi demokrasi Pancasila dari waktu ke waktu mengalami perbuhan dan bahkan berbeda antara satu masa ke masa yang lain. Paling tidak ada tiga model implementasi yang berbeda dalam penyelenggaraan pemerintahan dan struktur negara, yaitu: masa demokrasi liberal, masa demokrasi terpimpin, masa demokrasi Pancasila ala Soeharto dan masa demokrasi reformasi. Menurut saya, setiap masa akan selalu menghadapi dinamika dan realitas politik yang berbeda yang akan selalu dijawab oleh para pemimpin pada saat itu agar negara menjadi survive. Soekarno boleh mengkritik demokrasi liberal, tetapi demokrasi liberal itulah yang harus diterima dan memberi jawab atas persoalan yang dihadapi pada saat itu. 

Demikian juga kita boleh menyalahkan Soekarno pada saat menerapkan demokrasi terpimpin, tetapi kebijakan itulah yang harus diambil untuk menjawab tantangan dan kebutuhan pada saat itu. Ketika kabinet jatuh bangun, kehidupan negara yang serba tidak teratur, ancaman perpecahan di seluruh negeri mulai menguat, Presiden Soekarno menjawabnya dengan demokrasi terpimpin, untuk menjaga keutuhan bangsa. Masalahnya demokrasi terpimpin berubah menjadi otoriter ketika Soekarno menutup telinga atas setiap kritikan yang ada dan mulai jalan sendiri, sehingga jatuh karena kebijakannya. 

Soeharto muncul dengan Orde Baru-nya hendak memperbaiki keadaan mengyelesaikan tantangan pada saat itu, dengan menerapkan model penyelenggaraan negara yang berbeda dengan masa Soekarno, yang dinamakannya demokrasi Pancasila. Pada akhirnya model penyelenggaraan negara ala Orde Baru mengalami keruntuhan juga oleh masa reformasi dan model penyelenggaran pemerintahan berubah lagi dengan model yang baru. Menurut saya model yang baru ini, adalah usaha jalan tengah antara demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan dimokrasi Pancasila ala Soeharto. Suatu pemerintahan yang bertumpu pada prinsip negara hukum dan prinsip konstitusionalisme.

Keresahan Baru

Setelah lebih dari sepuluh tahun pelaksanaan model pemerintahan reformasi, terdapat kejenuhan dari sebahagian kalangan dan menawarkan model pelaksanaan pemerintahan yang baru. Belum ada suatu konsep dan desain yang jelas lahir dari keresahan tersebut, hanya kerisauan terhadap pelaksanaan pemerintahan yang dipandang semakin jauh dari idiologi Pancasila. Paling tidak, persoalan tersebut tergambar dari kekhawatiran atas pelaksanaan demokrasi politik yang terlalu bebas, prinsip-prinsip musyawarah yang diabaikan, degradasi posisi MPR dan penyesalan atas hapusnya GBHN, ekonomi yang dianggap liberal serta kuatnya parlemen atas presiden. 

Perlu perenungan yang dalam atas setiap pilihan yang akan diambil. Dari pengalaman sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sejak kemerdekaan, kita dapat mengambil banyak pelajaran dan hikmah agar tidak salah. Jika hendak mengambil kebijakan baru setelah reformasi, kebijakan yang bagaimankah yang akan di ambil, apakah model pelaksanaan idiologi Pancasila ala demokrasi terpimpin, model demokrasi Pancasila ala Soeharto ataukan model yang sama sekali baru. Semua model yang ada mengklaim sebagai model pemerintahan berdasarkan idiologi Pancasila. Kalau ingin kembali ke model demokrasi terpimpin ala Soekarno atau model demokrasi Pancasila ala Soeharto, bukankah kedua model itu telah gagal bahkan diubah dengan pengorban yang sangat besar. 

Demikian halnya jika hendak mengidupkan GBHN model pemerintahan Soeharto yang ditetapkan oleh MPR. Ketika itu, kerangka sistem yang dianut adalah kekuasaan tertinggi ada di tangan MPR yang sekaligus pelaksana sepnuhnya kedaulatan rakyat. MPR-lah yang menentukan dan menetapkan garis-garis besar haluan negara yang harus dilaksanakan oleh presiden dan seluruh lembaga negara. Presiden dalam sistem MPR itu, adalah pemegang kekuasaan tertinggi di bawah MPR dan merupakan mandataris MPR, sehingga presiden memiliki kewenangan lebih dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. Tetapi Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Jika MPR menganggap bahwa presiden telah melanggar haluan negara atau garis-garis besar haluan negara maka presiden dapat dimintai pertanggungjawaban yang dapat berujung pada pemakzulan.

Jika kembali menggunakan GBHN model seperti itu, konsekuensinya, kita harus mengubah kembali struktur kelembagaan negara yang ada dalam perubahan UUD 1945. MPR harus dikembalikan posisinya sebagai lembaga btertinggi negara dan kewenangannya untuk membuat GBHN yang harus diikuti oleh presiden dan seluruh lembaga negara lainnya. Dengan demikian, tidak tepat lagi Presiden dipilih langsung oleh rakyat, karena presiden tidak memiliki kebebasan apa pun untuk membuat program karena cukup melaksanakan saja sesuai dengan GBHN. Pemakzulan presiden cukup dengan model yang lama, yaitu sidang istimewa MPR, dengan alasan bahwa presiden telah melanggar haluan negara. Demikian juga lembaga-lembaga negara lainnya, harus mengukti desain MPR dengan konsekuensi jika tidak dilaksanakan harus juga diberikan sanksi untuk memakzulkan pimpinan lembaga negara yang bersangkutan. Jika dibuat GBHN tanpa sanksi, apakah bedanya dengan undang-undang mengenai program pembangunan. 

Menurut saya, untuk menghindari pengulangan kesalahan seperti praktik bernegara sebelumnya, maka kita harus berpikir jernih untuk kembali pada model GBHN pada masa yang lalu. Sebenarnya berdasarkan norma konstitusi yang ada, kerangka pembangunan jangka panjang dapat saja ditetapkan dengan undang-undang. Hal itu sangat sederhana dilakukan yaitu dengan membuat visi Indonesia jangka panjang kemudian diuturnkan dalam program jangka panjang juga misalnya 50 tahun dan 25 tahun. Rancangan program itu ditetapkan dengan undang-undang yang harus diikuti oleh setiap presiden yang terpilih, sehingga keraguan mengenai visi Indonesia jangka pajang akan terjawab. 

      

Penutup 

Apa pun pilihan kebijakan yang ada, haruslah secara tulus untuk kepentingan bangsa dan negara yaitu untuk menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi masa sekarang dan akan datang. Sepanjang masih dalam kerangka idiologi Pancasila, apa pun kebijakan itu adalah sesuatu yang sah dan konstitusional. Rumusan Pancasila, begitu sangat umum, karena ia merupakan philosophiegroundslag sehingga implementasi dan detailnya sangat bergantung pada dinamika dan tantangan yang ada. Ketika pemerintahan Soeharto mencoba merumuskan detail Pancasila pada tahun 1978, pada saat itu memeroleh tantangan yang sangat besar, sehingga dibatalkan kembali oleh MPR pada tahun 1999. Jadi, Pancasila haruslah menjadi idiologi terbuka agar luwes menghadapi setiap tantangan jaman. 

Benarlah apa yang dikemukakan oleh J. Relay bahwa kesepakatan-kesepakatan awal dalam perumusan konstitusi akan mengalami pertarungan pada tahap permainan politik di tingkat yang lebih rendah oleh generasi selanjutnya. Akhirnya yang menentukan kebijakan negara adalah kekuatan-kekuatan politik dominan pada setiap masa. Hal demikian adalah wajar menurut prinsip konstitusionalisme sepanjang masih dalam konteks makna konstitusi yang tertulis.

—————————————————
     
  

   

 
7 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 20, 2016 inci Pemikiran