If this organ is different from the legislative organ, it forms an authority above the legislator, a thing that might be politically undesirable, especially if this organ has the power to annul a statute which it considers to be unconstitutional.
(Hans Kelsen)[1]
Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi sering mengagetkan banyak orang. Walaupun lembaga ini masih baru, kurang dari 5 tahun[2], banyak putusannya yang dapat dikatakan sangat berani dan menimbulkan perdebatan bagi kalangan ahli hukum serta para politisi. Beberapa putusannya yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra antara lain mengenai dihapuskannya larangan hak pilih bagi eks anggota Gerakan 30 S/PKI[3], menyatakan tidak mempnuanyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan undang-undang ketenagalistrikan,[4] menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ketentuan pasal 50 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK)[5] yang berarti memperluas kewenangan MK sendiri, menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beberapa pasal UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan masih banyak lagi yang lainnya. Terakhir, yang menghebohkan adalah surat Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Presiden yang berisi “mengingatkan” Presiden bahwa dalam penerbitan Kepres 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, seharusnya memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 21 Desember 2004 (Tambahan Berita Negara Republik Indonesia No. 1 tahun 2005 tanggal 4 Januari 2005), yang telah menyatakan beberapa pasal undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Read the rest of this entry »